MUQADDIMAH

MUQADDIMAH
إنا أنزلنا القرآن عربيا لعلكم تعقلون

ILMU PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
acd

Pendidikan Islam, dilihat dari segi kehidupan struktural umat manusia, merupakan salah satu alat pembudayaan manusia itu sendiri. Sebagai suatu alat pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya di akhirat. Dalam hal ini, maka kedayagunaan pendidikan sebagai alat pembudayaan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut, yaitu para pendidik.
Menurut H.M. Arifin bahwa para pendidik memegang posisi yang sangat menentukan keberhasilan proses keberhasilan proses pendidikan, sebagaimana mereka dituntut oleh persyaratan tertentu, baik teoretis maupun praktis dalam melaksanakan tugasnya untuk mengembangkan anak didiknya dalam segala dimensi (M. Arifin, 1993 : 12).
Pendidik sebagai pemegang posisi dalam suatu proses kependidikan, perlu mengetahui sejauhmana tingkat keberhasilan mereka dalam menunaikan tugasnya. Apakah sistem pendidikan yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar itu, dapat membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak? Oleh karena itu, diperlukan adanya evaluasi atau penilaian terhadap objek pendidikan.
Untuk mengetahui hasil-hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam suatu kegiatan belajar-mengajar secara total, maka penilaian atau evaluasi yang dilakukan harus bersifat komprehensif. Penilaian tidak hanya berfokus pada satu aspek saja. Akan tetapi penilaian yang menjamah peserta didik secara total yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Apabila ketiga aspek tersebut telah diterapkan dengan baik, maka yang akan terungkap bukan hanya prestasi mereka dalam kelas, namun harus dilihat pula bagaimana sikap dan perilaku keberagamaan mereka mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
Apabila hal ini dilakukan, maka kekurangan dan kelebihan dari suatu sistem pendidikan yang diterapkan dapat diketahui lebih dini, sehingga kekurangan-kekurangan dapat diperbaiki dan kelebihan-kelebihan dari sistem tersebut dapat dikembangkan untuk mencapai hasil yang optimal.

BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PENDIDIKAN ISLAM
GjH

A.     Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna : Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan (A.W. Munawwir, 1997 : 470).
Dalam Alquran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَـانِى صَغِيْرًا
Artinya :
Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah membimbing aku waktu kecil (Q.S. 17 : 24).
Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْـنَا مِنْ عُمْرِكَ سِنِيْنَ
Artinya :
Firaun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. 26 : 18).
إِنَّـهُ رَبِِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ  
Artinya :
Sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik (Q.S.12: 23).

Pengertian pendidikan yang kita pahami sekarang belum terdapat pada zaman Rasulullah saw. Namun usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan usaha dakwahnya memberi contoh dan melatih keterampilan berbuat kebajikan, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Hal ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam. Apa yang beliau lakukan dalam mendidik manusia kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Cirinya ialah perubahan tingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Adapun pendidikan dalam pemahaman Islam ialah pertumbuhan yang seimbang antara pertumbuhan jasad, akal, dan ruh (Muhammad Imarah, 1992 : 63).
Selain pengertian di atas juga terdapat definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa: Pendidikan Islam bagi saya ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Ahmad Tafsir, 1992 : 32).
Di samping pengertian-pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Namun cukup dimengerti bahwa dari pengertian yang mereka kemukakan dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya dengan tujuan membimbing ke arah yang lebih sempurna yakni dengan menggunakan sarana atau alat belajar dan berlangsung pada suatu tempat tertentu.
B.     Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak aspek yang ikut terlibat, baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun ruang lingkup pendidikan Islam adalah :
1) Perbuatan Mendidik
2) Anak Didik
3) Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
4) Pendidik
5) Materi Pendidikan
6) Metode Pendidikan
7) Alat Pendidikan
8) Evaluasi Pendidikan
9) Lingkungan Pendidikan (Nur Uhbiyati, 1997 : 16).
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa aspek di atas yang merupakan ruang lingkup dari pendidikan tersebut.
1.      Perbuatan Mendidik
Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan tahzib.
2.      Anak Didik
Anak didik merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena semua upaya yang dilakukan adalah demi menggiring anak didik ke arah yang lebih sempurna.
3.      Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam yaitu ke arah mana anak didik itu akan dibawa.
4.      Pendidik
Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan Islam. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan  banyak ditentukan oleh mereka.
5.      Materi Pendidikan Islam
Materi pendidikan Islam yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepadaanak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan Islam sering disebut dengan Maddatut Tarbiyah.
6.      Metode
Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya.. Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik.
7.      Evaluasi Pendidikan
Cara-cara mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hasil belajar anak didik. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran.
8.      Alat-alat Pendidikan
Alat-alat pendidikan yaitu semua alat yang digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam agar tujuan pendidikan Islam tercapai.
9.      Lingkungan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan Islam di sini ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam. Lingkungan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak didik, olehnya itu hendaklah diupayakan agar lingkungan belajar senantiasa tercipta sehingga mendorong anak didik untuk lebih giat belajar.

BAB III
DASAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
mbm

A.       Dasar Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Alquran dan Hadis Nabi Muhammad saw. Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya dan mengklasifikannya kedalam dua bagian yaitu: Pertama, akidah untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan; kedua, adalah syariah untuk ajaran yang berkaitan dengan amal nyata (Muhammad Syaltut).
Oleh karena pendidikan termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup dalam bidang syariah. Bila diklasifikasikan lebih lanjut, termasuk dalam sub bidang muamalah.
Dalam Alquran (Q.S. 31: 12-15). Banyak ayat yang berkenaan dengan pendidikan. Tim penyusun buku Ilmu Pendidikan Islam memberikan contoh dengan menggunakan kisah Lukman ketika mendidik anak-anaknya (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1982/1983:20).
Hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan Islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Sebagai bantahan pendapat yang meragukan terhadap adanya aspek pendidikan dalam Alquran. Abdul Rahman Saleh Abdullah mengemukakan bahwa kata Tarbiyah yang berasal dari kata “Rabb”(mendidik dan memelihara) banyak terdapat dalam Alquran; demikian pula kata “Ilm” yang demikian banyak dalam Alquran menunjukkan bahwa dalam Alquran tidak mengabaikan konsep-konsep yang menunjukkan kepada  pendidikan (Departemen P & K, 1990:291).
Hadis, juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan  Islam. Hadis sebagai pernyataan, pengalaman, takrir dan hal ihwal Nabi Muhammad saw., merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Alquran.
Di samping Alquran dan hadis sebagai sumber atau dasar pendidikan Islam, tentu saja masih memberikan penafsiran dan penjabaran lebih lanjut terhadap Alquran dan hadis, berupa ijma’, qiyas, ijtihad, istihsan dan sebagainya yang sering pula dianggap sebagai dasar pendidikan Islam (Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama: 21). Akan tetapi, kita konsekuen bahwa dasar adalah tempat berpijak yang paling mendasar, maka dasar pendidikan Islam hanyalah Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw.
B.       Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai usaha normatif, maka tujuannya pun normatif (Abdurrahman Getteng, 1996:14). Oleh karena itu berbicara tentang tujuan pendidikan, baik pendidikan Islam maupun pendidikan lainnya, para ahli membagi dengan pembagian yang berbeda. Langevel misalnya, sebagaimana yang dikutip oleh Mappanganro, bahwa tujuan pendidikan diklasifikasikan kedalam enam bagian yaitu: 1) Tujuan umum 2) tujuan khusus 3) tujuan seketika 4) tujuan sementara 5) tujuan tidak lengkap, dan 6) tujuan perantara (Mappanganro, 1987 : 107).
Dilihat dari ilmu pendidikan teoretis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam adalah pada hakikatnya merupakan realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah Swt., lahir dan batin, dunia dan akhirat. Tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan mazhab dalam Islam.
Pendidikan Islam berlangsung seumur hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk Insan Kamil dengan pola takwa dapat mengalami naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan, lingkungan dan pengalaman dapat mempengaruhinya. Karena itulah pendidikan Islam berlaku seumur hidup untuk menumbuhkan, memupuk dan mengembangkan, serta memelihara dan mempertahankan tujuan pendidikan Islam yang telah dicapai. Orang yang sudah takwa dalam bentuk Insan Kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya pemeliharaannya supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bahkan pendidikan dalam bentuk formal.
Sebagaimana Rumusan Hasil Keputusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7-11 Mei 1960 di Cipayung Bogor. Pada saat itu berkumpullah ulama ahli pendidikan Islam dari semua lapisan masyarakat Islam dan telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan Islam yakni tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berkepribadian dan berbudi pekerti luhur menurut ajaran Islam. Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam (M. Arifin, 1994 : 41).
Rumusan lain tentang tujuan pendidikan Islam oleh Oemar al-Toumy al-Syaibany sebagai berikut: “Tujuan pendidikan Islam adalah perubahan yang diinginkan dan diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu tindakan kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat” (Arifin : 42).
Tujuan-tujuan tersebut dapat paralel dan dapat pula pada urutan satu garis (linier) dalam hal ini, terdapat tujuan yang dekat, lebih jauh atau dalam istilah lain terdapat beberapa tujuan sementara atau tujuan akhir pendidikan Islam. Fungsi dari pendidikan Islam adalah memelihara arah usaha itu dan mengakhiri setelah tujuan itu tercapai. Fungsi tujuan sementara ialah membantu memelihara arah usaha dan menjadikan titik berpijak untuk mencapai tujuan-tujuan lebih lanjut dari tujuan akhir. Pendidikan Islam ialah usaha yang bertujuan banyak dalam urutan satu garis (linier), sebelum mencapai tujuan akhir, pendidikan Islam lebih dahulu mencapai beberapa tujuan sementara (Ahmad D. Marimba, 1981 : 46).
Tujuan pendidikan Islam identik dengan tujuan hidup seorang muslim. Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriahnya, dengan kata lain perilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal memacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses pendidikan.
Pendidikan Islam juga mempunyai tujuan yang sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang digariskan Alquran. Ibnu Khaldun mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Ramayulis bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua tujuan. Pertama tujuan keagamaan, maksudnya beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan ke atasnya. Kedua, tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup (Ramayulis, 1994:25-26). Demikian pula Abdullah Fayad menyatakan bahwa pendidikan Islam mengarah pada dua tujuan. Pertama, persiapan untuk hidup akhirat; kedua, membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang kesuksesan hidup di dunia (Ramayulis: 26-27). Semua rumusan tujuan yang dikemukakan di atas sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Tujuan pendidikan Islam adalah mengandung tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islami. Hal ini mengandung bahwa tujuan pendidikan Islam tidak lain adalah: Tujuan merealisasikan idealitas Islami. Sedangkan idealitas Islami itu sendiri pada hakikatnya mengandung nilai perilaku manusia yang disadari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan yang ditaati (Arifin, 1994 : 119).
Selanjutnya al-Gazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah Swt., dari kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia dan akhirat (Ramayulis : 26). Selain dari pandangan yang dikemukakan oleh al-Gazali tentang tujuan pendidikan Islam. Al-Gazali merumuskan tujuan umum pendidikan Islam kedalam lima pokok: 1. Membentuk akhlak yang mulia (al-fadhilah); 2. Persiapan untuk dunia dan akhirat; 3. Persiapan untuk mencari rezki dan pemeliharaan segi-segi pemanfaatannya. Keterpaduan antara agama dan ilmu akan dapat membawa manusia kepada kesempurnaan; 4. Menumbuhkan ruh ilmiah para pelajar dan memenuhi keinginan untuk mengetahui serta memiliki kesanggupan untuk mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu; 5. Mempersiapkan para pelajar untuk suatu profesi tertentu sehingga ia mudah mencari rezki (Ramayulis).
Sebagaimana diketahui bahwa tujuan pendidikan adalah salah satu faktor determinan dalam pendidikan pada umumnya. Secara khusus dalam pendidikan Islam, yang menjadi tujuan utama adalah terbentuknya akhlak yang mulia (akhlak al-karimah).
Berbagai aspek yang harus dilihat dalam rangka penetapan dan pemantapan tujuan pendidikan tersebut termasuk pendidikan Islam. Aspek-aspek yang dimaksud adalah berkaitan dengan berbagai hal yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan subjek dan objek didik.
Sebagai titik akhir yang ingin dicapai adalah kesempurnaan jiwa manusia. Kesempurnaan jiwa diasumsikan sebagai suatu capaian yang harus diraih oleh segenap usaha manusia. Oleh karenanya perangkat pendidikan yang direkayasa senantiasa mencerminkan daya dukungnya terhadap tujuan itu.
Dengan kondisi ideal seperti itu menurut para ahli pendidikan Islam, manusia harus diarahkan ke arah pencapaian kualitas tertentu yang dapat digunakannya dalam kehidupan ini. Berbagai penelitian yang telah dikemukakan untuk mengkaji sekitar tujuan umum pendidikan Islam yang bersumber dari kenyataan-kenyataan serta pemikiran-pemikiran yang berkembang sekitar pendidikan Islam.
AR. Nahlawi, menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam adalah: 1) meningkatkan kemampuan akal dan menumbuhkan pikiran, 2) menumbuhkan potensi-potensi bakat yang dibawa sejak lahir, 3) mengembangkan potensi generasi muda, dan 4) menjaga keseimbangan potensi dan bakat manusia. Akal merupakan anugrah pemberian Tuhan yang dikhususkan kepada manusia sebagai jenis makhluk yang mengembang tugas berat dan mulia. Oleh karena pengembangan akal manusia harus menjadi prioritas dalam tujuan pendidikan (AR. Nahlawi, 1865 : 67).
Hal tersebut dapat dikomentari bahwa pakar tersebut menekankan lebih banyak kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Fungsi akal yang dimanifestasikan lewat kemampuan berpikir dapat menjadi sarana untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan. Demikian juga dapat mengembangkan potensi berupa bakat yang ada dalam diri setiap orang.
Lain halnya dengan al-Jamali mengemukakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan Islam hendaknya diambil dari Alquran sebagaimana telah disebutkan beberapa tujuan dimaksud adalah: 1) Menyadarkan manusia tentang posisinya di antara makhluk yang lain, 2) Memperkenalkan tanggung jawab yang diemban oleh manusia dalam kehidupan diri dan sosialnya, 3) Mendalami hikmah penciptaan makhluk lain berupa alam dan segala isinya yang digunakan oleh dan untuk kepentingan manusia, 4) Memperkenalkan keagungan pencipta alam raya ini (Nahlawi : 62).
Dari gambaran tujuan yang dirumuskan oleh Nahlawi tersebut tampaknya dapat didekati dengan pemahaman yang berdimensi internal. Bahwa dalam diri manusia harus ditumbuhkan keadaan yang mendalam tentang berbagai hal, baik yang menyangkut eksistensinya maupun tanggung jawabnya secara hakiki. Bahkan sebagai makhluk Tuhan, manusia perlu memiliki suatu pandangan yang benar tentang akidah dan keyakinan kepada Allah Sang Maha Pencipta yang dapat didekati lewat atribut-atribut alamiah yang mudah dipahami.
Jika dipelajari karya-karya al-Gazali tentang pendidikan dan pengajaran, akan ditemukan dua tujuan pendidikan yang hendak dicapai, yakni; 1) Kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah kedekatan dengan Allah, dan 2) Kesempatan manusia yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1964 : 12).
Berdasarkan tujuan tersebut tampaknya al-Gazali melakukan upaya dan menjabarkannya dalam berbagai bentuk pengajaran yang menurutnya dapat dan mampu mendekati puncak pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Dari pandangan di atas dapat dipahami sebagaisuatu kebulatan yang pada dasarnya tidak bertentangan satu sama lain. Mereka saling melengkapi guna mendapatkan rumusan tujuan ideal yang hendak dicapai oleh segenap usaha dan proses pendidikan Islam. Rumusan tersebut bila dicermati, berakar dari petunjuk-petunjuk Alquran serta berakar pada pengalaman historis dalam pelaksanaan pendidikan Islam hingga kini.
Dengan memperhatikan kerangka tujuan yang dikutip di atas, juga tergambar secara umum bahwa sistem pendidikan Islam memiliki ciri khas yakni dengan warna religius serta dilengkapi dengankerangka etis tanpa mengenyampingkan kepentingan-kepentingan duniawi. Apabila ditelusuri lebih jauh tentang kecenderungan al-Gazali dalam praktek dan proses pendidikan yang dilakukannya, tampak dengan jelas adanya aksentuasi ke arah bidang ruhani sebagai konsekuensi dari pandangan dalam bidang filsafat dan sufistik. Penjelasan Fathiyah Hasan tersebut menyimpulkan bahwa al-Gazali sebenarnya memiliki tujuan hakiki yakni mencapai kesempurnaan manusia dunia dan akhirat (Hasan Sulaiman : 20).
Dari berbagai macam tujuan pendidikan dikemukakan di atas kita dapat mengambil kesimpulan kepada dua macamkesimpulan yang prinsipil yaitu:
1.      Tujuan Keagamaan
Yang dimaksud dengan tujuan keagamaan ini adalah bahwa setiap pribadi orang muslim beramal untuk akhirat atas petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari ajaran-ajaran Islam yang bersih dan suci. Tujuan keagamaan mempertemukan diri pribadi terhadap Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban, sunat dan yang fardhu bagi seorang mukallaf.
Tujuan ini menurut pandangan pendidikan Islam dan para pendidik muslim mengandung esensi yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembinaan kepribadian individual ; diibaratkan sebagai anggota masyarakat yang harus hidup di dalamnya dengan banyak berbuat dan bekerja untuk membina sebuah gedung yang kokoh dan kuat. Di sini tampak jelas tentang pentingnya tujuan pendidikan ini, karena sebenarnya agama itu sendiri mempunyai hubungan yang erat dengan berbagai aspek pendidikan kejiwaan dan pendidikan kebudayaan secara ilmiyah dan falsafiyah. Maka dari itu agama mengarahkan tujuannya pada pencapaian makrifat tentang kebenaran yang haq, yaitu Allah Swt.
Di samping itu tujuan keagamaan juga mengandung makna yang lebih luas yakni suatu petunjuk jalan yang benar di mana setiap pribadi muslim mengikutinya dengan ikhlas sepanjang hayatnya, dan juga masyarakat manusia berjalan secara manusiawi (Ali al-Jumbulati, 2002 : 37).
Dengan demikian agama sebenarnya memberikan berbagai topik pembahasan, di antaranya yang paling essensial ialah pembahasan dari sudut falsafah, misalnya agama berusaha memberikan analisis yang benar terhadap permasalahan wujud alam semesta dan tujuannya, dan agama menetapkan garis dan menjelaskan kepada kita jalan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Tentang kehidupan di akhirat filsafat juga berusaha menganalisis problem-problemnya.
2.      Tujuan Keduniaan
Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern saat ini yang diarahklan kepada pekerjaan yang berguna (pragmatis) atau untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Tujuan ini diperkuat oleh aliran paham pragmatisme yang dipelopori oleh ahli filsafat John Dewey dan William Kilpatrick. Para ahli filsafat pendidikan pragmatisme lebih mengarahkan pendidikan anak kepada gerakan amaliah (keterampilan) yang bermanfaat dalam pendidikan.
Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah kesempurnaan ruh (jiwa) manusia yang pada hakikatnya menjadi inti keberadaan manusia dalam perjuangan hidupnya mencari keridhaan Allah. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada dasarnya memperoleh tujuan ideal guna mengantarkan dan mengarahkan manusia dalam upaya memantapkan dan menjaga kesucian jiwanya. Dapat pula dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim seutuhnya adalah pribadi yang ideal menurut ajaran Islam yakni, meliputi aspek-aspek individual, sosial dan aspek intelektual. Semua aspek itu adalah sesuai dengan hakikatnya sebagai seorang muslim yang mengabdikan seluruh hidupnya kepada Allah Swt. sesuai tuntunan Alquran.

BAB IV
ASAS-ASAS PENDIDIKAN ISLAM

Berbicara tentang asas-asas pendidikan Islam, maka yang menjadi unsur terpenting di dalamnya adalah mengenai tabiat manusia. Oleh karena itu, di dalam Alquran, kita menemukan gambaran yang lengkap tentang tabiat manusia yang tersurat di dalam ayat-ayat yang mengupas langsung dengan menyebut-nyebut “Adam”, “Bani Adam”, “al-Basyar”, “an-Nas”, “al-Insan” dan berbagai penciptaannya yang beraneka, maupun berbagai tempat lainnya di dalam Alquran.
A.       Manusia Sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
Allah Swt. berkehendak untuk menciptakan khalifah-Nya di muka bumi dengan tugas memakmurkan alam dan mengembangkan amanat risalah serta menegakkan segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran. Pemberian tugas khalifah ini disertai bekal potensi yang diciptakan Allah Swt., ciptaan yang diperuntukkan Allah Swt. baginya dan ilmu yang dibekalkan Allah Swt. kepadanya. Demikianlah khalifah itu ditugaskan untuk senantiasa menjalankan syariat Allah Swt. dan mengemban tanggungan yang dipikulkan kepadanya: jika ia tidak melakukannya, berarti ia telah mengikuti syahwatnya dan menjadi perusak di muka bumi (Abdul Fattah Jalal, 1988:42-43). Hal ini dapat dilihat dalam Alquran sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِـكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَـلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya :
Ingatlah ketika Rab-mu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Apakah engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu, orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”.(Q.S.2 : 30).

Demikianlah, manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi. Ia ditempatkan ke bumi untuk mengelola apa-apa yang ada di dalamnya dan untuk saling bahu membahu antara sesama manusia serta memakmurkan bumi ini. Jika ada di antara Bani Adam yang meningkat martabatnya ke tingkat para malaikat, bahkan mungkin melebihinya, maka yang demikian itu terjadi karena mereka menjalankan apa yang telah diembankan oleh Allah Swt. kepadanya dan melaksanakan syariat Allah Swt., berjuang di jalan kebenaran dan memusatkan kehidupannya guna mencapai keridhaan Allah Swt. dan kemaslahatan umat serta merealisasikan manfaat umum bagi manusia. Mereka itu adalah para Rasul.
Demikian pula di antara keturunan Adam as. Juga mungkin ada yang jatuh ke tingkat yang paling rendah, manakala mereka kafir terhadap nikmat Allah Swt. dan berbuat kerusakan di muka bumi serta menyia-nyiakan nikmat khilafah. Dengan ilmunya, manusia berhak menerima penghormatan para malaikat, sebagaimana digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 30-34; bahwa Allah Swt. telah mengajarkan nama seluruh benda kepada Adam as., padahal para malaikat tidak mampu untuk mengetahuinya, sehingga Allah Swt. menyuruh mereka untuk bersujud kepada Adam as. Maka mereka pun bersujud, kecuali iblis yang enggan dan sombong.
Adapun yang menjadi poros khilafah manusia ialah penggunaan akal, pengemban tugas-tugas samawi serta pelaksanaan amanah melalui jalur ilmu yang dipelajarinya, realisasi pemahaman serta pembedaan antara yang buruk dan yang baik. Dalam hal inilah tampak jelas kelebihan manusia dibanding dengan seluruh makhluk lainnya, bahkan para malaikat, karena mereka ini hanya berbuat sekedar menjalankan perintah tanpa memikirkan atau mempertimbangkannya. Sedangkan manusia adalah makhluk yang dipersiapkan untuk berpikir dan memikul tanggung jawab serta amanah. Oleh karena itulah, ia berhak untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi, bahkan berhak Allah Swt. meniupkan ruh-Nya kepadanya.
B.       Allah Menciptakan Manusia dalam Bangunan yang Sebaik-baiknya
Manusia yang hendak dijadikan Allah Swt. sebagai khalifah di bumi, telah dijadikan-Nya dalam penampilan yang sebaik-baiknya. Ia menjadikan manusia sebagai ciptaan-Nya dalam penampilan yang sebaik-baiknya. Ia menjadikan manusia sebagi ciptaan-Nya yang terbaik, lahir maupun batin, dengan rancangan yang indah serta struktur yang tiada bandingannya. Allah telah bersumpah, bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam bangunan yang sebaik-baiknya:
وَالتَِيْنِ وَالزَّيْتُـوْنِ وَطُوْرِ سِيْنِيْنَ وَهَذَا اْلبَلَـدِ اْلأَمِيْنِ لَقَدْ خَلَقْـنَا اْلإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقَوِيْمٍ
Artinya :
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Makkah) yang aman ini, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bangunan yang sebaik-baiknya (Q.S.95 : 1-4).
Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi menyebutkan bahwa Allah Swt. telah menciptakan Adam as. Dan anak cucunya dalam keadaan tegak dan indah. Allah Swt. telah menciptakan segala sesuatu selaras dengan kehendak-Nya. Dia menciptakan manusia dengan sempurna: mempunyai lisan yang fasih, tangan dan jari jemari untuk menggenggam. Abubakar Ibnu Thahir berkata, “Manusia dihiasi dengan akal, mampu menjalankan perintah, dapat dididik, memiliki bentuk tubuh yang bagus dan mendapatkan makanan dengan tangannya”. Ibnu al-Arabi mengatakan, “Allah Swt. tidak mempunyai makhluk yang lebih baik dari pada manusia”. Allah menciptakan manusia dengan potensi untuk hidup, mengetahui, berkemampuan, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, berpikir dan bijaksana. Semua ini adalah sifat-sifat Allah Swt. yang diibaratkan oleh sebagian ulama dengan kata-kata: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam berdasarkan gambaran-Nya”, yakni berdasarkan sifat-sifat yang telah disebutkan tadi. Dan dalam sebuah riwayat dikatakan “Berdasarkan gambaran ar-Rahman”. Pendapat ini didasarkan pada gambaran kiasan belaka (Tafsir al-Qurthubi : 7204 ).
Syekh Muhammad Abduh mengatakan: “Allah Swt, bersumpah, bahwa Dia telah membentuk manusia dalam bentuk yang paling utama dan menatanya sebaik-baik tatanan. Pernyataan dikuatkan oleh suatu pengandaian, yaitu apabila manusia melupakan (= tidak dimanfaatkan) akal yang dijadikan Allah Swt. sebagai alat untuk memuliakannya, maka mereka cenderung memandang dirinya (menempatkan dirinya pada kedudukan) sebagai jenis hewan belaka, seperti hewan lainnya. Mereka akan berbuat seperti binatang, tanpa dihalangi oleh rasa malu. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan kecenderungan pada kejahatan. Maka untuk menunjukkan sesatnya pandangan ini Allah Swt. berfirmn bahwa Dia telah menganugrahkan kepada manusia sebaik-baik fitrah, baik fisik maupun psikis dan memuliakannya dengan akal yang menjadi alat untuk menguasai (dan mengatur) seluruh alam bumi dan dengan perkenan Allah Swt., menguak seluruh alam samawi” (Tafsir Muhammad Abduh, juz Amma, Kitabus Syu’b, Qairo : 91).
Setelah mengikuti keterangan ini, maka tidak ada alasan lagi untuk mengatakan bahwa tabiat manusia itu jahat. Bahkan tabiat manusia itu ialah tabiat yang telah disusun sebaik-baiknya.
C.       Allah Menundukkan Segala yang Ada di Langit dan di Bumi bagi Manusia
Allah Swt. telah menaklukkan segala apa yang adadi bumi dan langit untuk manusia yang dimuliakan ini, agar ia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah Swt di muka bumi. Allah Swt. telah menempatkan segala apa yang ada di muka bumi di bawah kekuasaan manusia, baik daratan maupun lautan, sehingga memungkinkan manusia untuk mengelola keduanya dan bergerak di dalamnya dengan menggunakan akal dan ilmu. Hal ini dapatdilihat dalam Alquran sebagai berikut :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ سَخَّرَلَكُمْ مَا فِى اْلأَرْضِ وَاْلفُلْكَ تَجْرِى فِى اْلبَحْرِ بِأْمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاءُ أَنْ تَقَعَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِـهِ إِنَّ اللهَ بِاالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya :
Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menungdukkan bagi kalian apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya? Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia (Q.S. 22 : 65).
Bahkan Allah Swt. menundukkan segala apa yang ada di langit dan di bumi untuk manusia:
اَللهُ الَّذِي سَخَّرَلَكُمْ اْلبَحْرَ لِتَجْرِيَ اْلفُلْكَ فِيْهِ بِأَمْرِهِ وَ لِتَبْـتَغُوْا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ  M وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى اْلأَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ.
Artinya :
Allahlah yang menundukkan lautan untuk kalian supaya kapal-kapal dapat berlayar pada-Nya dengan seizin-Nya, dan supaya kalian dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kalian bersyukur. Dan Dia menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir (Q.S. 45 :12-13).
Dalam surah an-Nahl ayat 4-18, Allah Swt. banyak menguraikan berbagai hal yang Dia tundukkan untuk manusia, agar ia dapat memanfaatkannya di dalam hidup dan memperlancar dalam menjalankan tugasnya. Tetapi, bagaimanakah manusia melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya? Allah telah menyediakan bagi manusia seperangkat sistem ciptaan-Nya sehingga memungkinkan untuk menunaikan tugas-tugasnya.
D.       Perangkat Tabiat Manusia
Alquranul karim menyebutkan berbagai perangkat dan bagiantubuh manusia. Kalau kita perhatikan sebagaimana yang akan diterangkan kemudian maka tampak bahwa perangkat tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, kecuali ketika sedang khusus membicarakan sesuatu fungsi yang berhubungan dengan bagian yang bersangkutan. Alasannya karena tubuh manusia saling melengkapi. “Apabila salah satu di antara anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan turut terkena demam dan tidak enak tidur”. Adapun perangkat tabiat manusia yang akan diuraikan dalam rangka kajian ilmiah ini adalah: tubuh, akal, hati dan ruh (Abdul Fattah Jalal:53). Di antara perangkat itu tidak terdapat apa yang dinamakan adl-dlamir “hati sanubari”, karena kata ini tidak disebutkan di dalamkitab Allah.
Ada yang berpendapat bahwa an-nafs (diri) adalah bagian dari perangkat tabiat manusia. Sedangkan kami menduga, bahwa an-nafs atau diri ini sebagaimana dikatakan di dalam Alquranul-Karim adalah zat manusiawi. Dengan demikian, ia merupakan sinonim dari kata insan atau al-fardu (individu). Sehubungan dengan tabiatnya, Alquran menggambarkan al-Insan dan an-Nafs dengan berbagai sifat yang menyingkapkan aneka macam penampilan manusia, baik ditinjau dari sudut fisiknya maupun dari sudut kondisi psikisnya. Maka kata an-Nafs di sini agaknya berarti ad-Dhamir (hati sanubari) dan sinonim dengan kata al-qalb (qalbu). Semua ini menunjukkan adanya berbagai pandangan yang saling melengkapi sekaitan dengan tabiat manusia. Demikian pula aspek-aspek tabiat itu saling melengkapi.
Berikut ini dipaparkan karakteristik manusia dilihat dari:
* Tubuh
Kata al-Jism (tubuh) disebutkan di dalam Alquran hanya sebanyak dua kali. Pertama, dengan sighat mufrad (bentuk tunggal), yaitu ketika berbicara tentang Thalut. Dan kedua, dengan sighat jama’ (bentuk jamak), yaitu ketika berbicara tentang orang-orang munafik.
….قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِى اْلعِلْمِ وَ اْلجِسْمِ….
Artinya :
“… Nabi mereka berkata: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian danmenganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…” (Q.S.2 : 247).
Selanjutnya dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ تَعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ….
Artinya :
“Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan engkau kagum …” (Q.S.63 : 4).

Di dalam ayat pertama, Allah Swt. menerangkan bahwa di antara persyaratan imamah atau menjadi penguasa pemerintahan ialah ilmu dan kekuatan fisik. Keterangan ini disampaikan sebagai jawaban terhadap pertanyaan kaum yang bernada ingkar.
* Akal
Sesungguhnya akal menjadi tanda kodrati setiap keutamaan dan menjadi sumber setiap adab. Allah Swt. menjadikan akal sebagai penopang ad-din dan tiang dunia. Dengan sempurnanya akal, Allah Swt. telah mewajibkan tugas (Fa aujabal lahut-taklifa bikamalaihi); dan dengan hukum-hukumnya, Allah Swt menjadikan dunia teratur. Orang yang menggunakan akalnya akan merasa lebih dekat kepada Ilahi Rabbi dibanding seluruh orang yang berijtihad tanpa menggunakan akal” (Tafsir al-Qurthubi : 1821).
Di antara kata-kata yang banyak dimuat Alquran di berbagai tempat ialah kata ‘aqala, dalam bentuk fiil (kata kerja) dan kata al-‘aqlu (akal), dalam bentuk isim (kata benda). Kiranya hal ini menjadi dalil bahwa yang penting bukanlah sekadar sel-sel yang hidup saja, melainkan akal pun sebagai motor yang menggerakkan perealisasian tugas. Demikianlah Alquran memberikan aksentuasi kepada salah satu komponen unsur tubuh manusia yang dipandang oleh Islam sebagai suatu yang istimewa. Bukankah karena akal ini, permasalahan yang muncul dapat diatasi dan dengan akal pula tugas untuk melaksanakan amanah dapat dipenuhi? Kata-kata yang dijabarkan dari kata ‘aqal: ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluha dan ya’qiluna dimuat dalam Alquran, dalam 49 tempat. Sedangkan kata al-albab dalam 16 tempat. Kata al-albab adalah kata jama’ dari lubbun yang berarti akal.
Di antara sedemikian banyak keistimewaan Alquran ada satu yang sangat menonjol, yaitu penghormatan terhadap akal serta bersandar kepadanya di dalam masalah akidah dan taklif (tugas). Dalam Alquran, akal hanya disebut-sebut dalam kedudukannya yang agung sambil diingatkan kepada kewajiban menggunakannya.
Dalam setiap bahasan, berkali-kali diulangi perintah dan larangan sehubungan dengan keharusan seorang mukmin untuk menggunakan akalnya secara bijaksana, serta celaan terhadap yang munkar karena tidak menghiraukan dan tidak menggunakan akalnya sebagaimana mestinya. Penyebutan akal secara berulang-ulang itu tidak hanya diartikan dalam satu makna saja sebagaimana yang diungkapkan oleh para psikolog dewasa ini, melainkan mencakup berbagai fungsinya, selaras dengan jenis tugas dan kekhususan yang diembannya.
Allah Swt. menyeru manusia supaya menggunakan akal sebagai alat untuk mencapai hakikat yang menuntun mereka untuk beriman kepada-Nya dan kitab-kitab-Nya:
...كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya :
…Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian mengerti (Q.S.2 : 73).
* Qalb (Hati)
Kata al-qalb dan al-qulub disebutkan oleh Alquran di dalam 132 tempat, di samping kata al-fu’ad yang secara bahasa berarti al-qalb pula, serta kata shadr dan shudur yang juga menunjuk kepada kata al-qalb. Perhatian yang besar ini menerangkan, bahwa al-qalb adalah salah satu gejala dari peringkat hakikat manusia yang asasi, karena iman bersemayam di hati manusia.
Dalam kaitannya dengan al-qalb, hal ini dapat dilihat pada ayat berikut:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرِ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى اْلقُلُوْبِ
Artinya :
Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (qalbu) (Q.S. 22 : 32).
يَأَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى اْلكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْا أَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَـمْ تًؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ….
Artinya :
Hai Rasul, janganlah engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal qalbu mereka sama sekali tidak beriman …(Q.S.5 : 41).
Dalam menafsirkan ayat pertama (al-Hajj :3 2), al-Qurthubi mengatakan :
“Al-Qulûbu dibaca rafa’, karena dia merupakan fâil (subjek) dengan bentuk mashdar (akar kata) taqwa. Dan kata at-taqwa diidafahkan (disandarkan) kepada kata al-qulûb, karena hakikat takwa ada di dalam kalbu. Untuk ini, maka Rasulullah saw. bersabda di dalam hadis shahih: “Takwa ada di sini! Sambil menunjuk ke arah dadanya”.
* Ruh.
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya :
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Rabbi, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. 17 : 85).

Ruh adalah salah satu komponen perangkat tabiat manusia. Tetapi kita tidak mendapatkan batasannya dalam Alquran. Kita dapatkan kata ar-ruh dalam Alquran, dalam arti pembawa wahyu, yaitu Jibril, dan dalam arti rahasia Ilahi yang dengannya tanah liat kering menjadi manusia.
Ruh yang dipandang sebagai bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat 85 surah al-Isra, hanya Allah Swt.lah yang mengetahuinya. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi mengatakan:
“Kebanyakan ahli ta’wil berpendapat, bahwa mereka bertanya kepadanya tentang ruh yang menghidupi jasad. Dan ahli nadhar berkata, bahwa mereka bertanya kepadanya tentang seluk beluk ruh dan gerak geriknya dalam badan manusia serta bagaimana pula pertalian ruh dengan tubuh serta hubungannya dengan hidup. Ini semua hanya Allahlah yang mengetahuinya”(Abdul Fattah Jalal,1988:65).

BAB V
BATAS-BATAS PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian dan Batas Bawah (awal) Pendidikan Islam
1.                     Adapun pengertian yang dimaksud yaitu:
Batas ialah suatu yang menjadi hijab atau ruang lingkup; awal dan akhir berarti memiliki permulaan dan akhir. Sedangkan pendidikan adalah pengaktualisasian fitrah insaniyah yang manusiawi dan potensial agar manusia dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya (individual, sosial, religius) (Abdurrahman, 1988: 13).
2.                     Batas (awal) pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan batas awal pendidikan Islam ialah saat kapan pendidikan Islam itu dimulai. Para ahli paedagogik muslim dan non muslim mempunyai pendapat yang beragam akan hal ini. Mereka hanya sepakat bahwa pendidikan itu adalah suatu usaha dan proses mempunyai batas-batas tertentu. Langevel, memberikan batas awal (bawah) pendidikan pada saat anak sudah berusia kurang lebih 4 tahun, yakni pada usia ini telah terjadi mekanisme untuk mempertahankan dirinya (eksistensi) perubahan besar dalam jiwa seseorang anak di mana sang anak telah mengenal aku-Nya. Sehingga si anak sudah mulai sadar/mengenal kewibawaan (gezag) (Amier Daien Indra Kusuma, 1973 : 33).
Kewibawaan dalam pendidikan adalah kesediaan untuk mengalami adanya pengaruh dan menerima pengaruh (anjuran) orang lain atas dasar sukarela. Bukan karena takut atau terpaksa.
Sejarah Islam telah membenarkan bahwa pendidikan Islam itu telah mulai berkembang pesat di dunia Islam semenjak Islam itu lahir di permukaan bumi. Firman Allah Swt. dalam surah al-Alaq ayat 1-5 sebagai ayat yang pertama kali diturunkan yang berkaitan dengan pendidikan sebagai berikut:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ إِقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ  أَلَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ
Artinya :
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah; yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya (Q.S. 96 : 1-5).
Imam al-Gazali berpendapat bahwa anak itu seperti kertas putih yang siap untuk ditulisi melalui orang tuanya sebagai pendidik sehingga batas awal pendidikan pada saat anak dalam kandungan ibunya, lebih jauh dari itu yakin pada saat memilih calon pasangan hidup (suami isteri) (Ahmad Izzuddin, 1987 : 109). Di mana anak akan lahir, tidaklah terlepas dari pengaruh perilaku orang tuanya yang mendidik dan membesarkannya.
Anak dalam kaitannya dalam pendidikan menurut ajaran Islam adalah fitrah atau ajaran bagi orang tuanya. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw. yang artinya: Setiap anak itu dilahirkan atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan Nasrani atau Majusi.
3.                     Batas akhir pendidikan Islam
Sebelum anak mengenal kewibawaan (gezag) dari pendidik maka peristiwa pendidikan belum ada, dan yang ada hanya latihan dan pembiasaan saja. Kewibawaan yang dimaksud adalah kekuatan batin yang dimiliki oleh pendidik yang ditaati oleh anak didik. Langevel memandang pendidikan itu sebagai suatu pergaulan antara anakdidik dengan pendidik. Tugasi pendidik ialah mendewasakan anak didik (manusia muda) dengan membimbing sampai pada tingkat kedewasaan (jasmani dan rohani). Sehingga dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab secara etis.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam menurut Imam al-Gazali adalah untuk mencapai keutamaan dan taqarrub (pendekatan diri kepada Allah). Sejalan dengan hal di atas jelaslah bahwa batas pendidikan versi Langevel agak realistik pragmatik, maka batas pendidikan Islam lebih idealistik dan pragmatik menurut Islam, pendidikan itu berlangsung dari buaian sampai ke liang lahat. Sebagaimana Hadis Nabi saw.:
أُطْلُبِ اْلعِلْمَ مِنَ اْلمَهْدِ إِلَى اللَّهْـدِ
Artinya: 
Tuntutlah ilmu pengetahuan semenjak dari buaian hingga ke liang lahat (al-Hadis).
Prinsip pendidikan yang dilaksanakan dewasa ini yang dikenal dengan konsep pendidikan seumur hidup (Long Life of Education). Hal ini menunjukkan bahwa tidak dikenal adanya batas-batas pendidikan. Bukankah pendidikan adalah pertolongan orang dewasa (pendidik) kepada (pemuda) anak didik. Bukankah manusia semenjak dia lahir dan sepanjang hidupnya dia membutuhkan pertolongan orang lain?, maka semakin banyak kebutuhan hidup yang dibutuhkannya semakin pula ia membutuhkan pendidikan.
Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia muttaqin yang secara sadar dan bertanggung jawab selalu mencari keridaan Allah Swt. melalui jalur muamalah yang ubudiyah sehingga sistem pendidikan Islam adalah suatu pola yang menyeluruh dari suatu masyarakat, unsur-unsur lembaga formal atau non formal dengan pemindahan pengetahuan dan pewarisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial spiritual dan intelektual. Dengan munculnya sistem pendidikan Islam sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri adalah suatu fenomena baru dalam syariat Islam (Hasan Langgulung, 1988 : 4)
B. Beberapa Konsep Berkembangnya Pendidikan Islam
Sebuah analogi ringan dari masyarakat primitif mereka berasumsi bahwa dimulainya pendidikan Islam adalah karena proses sosial yang dengan sendirinya seseorang akan mempelajari benda-benda atau hal-hal yang penting agar dia dapat menyesuaikan dirinya dengankehidupan masyarakat, dengan mengambil bagian dalam aktivitas masyarakat akan menambah pengalaman, setiap pengalaman pada dasarnya akan bersifat mendidik (menjadi guru) dalam hidup tujuan akhir pendidikan pada masyarakat primitif adalah mencapai pengetahuan yang diperlukan buat menyesuaikan diri dengan kebudayaan.
Dalam masa perkembangannya proses kehidupan umat manusia di akhir abad ke 20. Teori pendidikan dan filsafat pendidikan haruslah disesuaikan dengan kondisi zaman yang lalu. Persoalannya apakah sistem itu dapat menjawab tantangan zaman yang sekarang dan yang akan datang yang kita hadapi (Hamdani Ali, 1986 : 20-21).
Sejak awal Islam didakwahkan oleh Rasulullah saw. melalui pendidikan dengan sendirinya bertambahlah lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat 7untuk mencari/menuntut mutu kendati sarana dan fasilitas yang ada masih serba terbatas, namun menjadi acuan (dasar) untuk menyelenggarakan pendidikan Islam secara sistematis, tempat-tempat pada zaman itu seperti al-Iqra’ Masjid al-Hikmah dan Majlis Taklim lainnya, al-Khattab (Abdullah Fadjar, 1991 : 11).
Di Indonesia sendiri pendidikan Islam itu berlangsung dalam keluarga dan lembaga pendidikanlainnya. Seperti madrasah-madrasah (ibtidaiyyah, tsanawiyah dan aliyah) dan pondok-pondok pesantren sebagai suatu fundamental pewaris nilai-nilai Islam yang kondusif, yang tidak terlepas dari aspek dasar pewaris nilai-nilai Islamiyah. Itu disebabkan oleh perbedaan sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan barat adalah orientasi sebagai indikator utama (barat) adalah materi yang sekularisme (The Post Cristiaw Era) yang menatap dengan bayang-bayang Tuhan dengan mata hati dimasyarakatkan oleh alam semesta.
Demikian pula dalam kehidupan bernegara sebagai bangsa Indonesia yang telah menjunjung tinggi demokrasi (pasca reformasi) mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan haruslah merata ke seluruh lapisan masyarakat (penduduk) Indonesia melalui lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Proses ini menyangkut kegiatan belajar secara formal maupun non formal yang berlangsung pada Tri Pusat Pendidikan (Djamaluddin AB, 1984 : 14).
Akhirnya pendidikan atau pendidikan Islam itu tidak memiliki batas, karena pendidikan itu mesti kondusif yang didasari pada eksistensi manusia yang berhubungan dengan Khaliknya, sesamanya makhluk dan lingkungan sekitarnya dibina dan dikembangkan. Olehnya itu dapat dikatakan bahwa batas awal pendidikan Islam memilih pasangan hidup (suami-isteri) dan mendidik anak dimulai dari buaian hingga liang lahat, karena tidak ada batas tertentu bagi seseorang dalam pendidikan (long time education). Pendidikan Islam adalah tanggung jawab kita bersama.
BAB VI
ALAT-ALAT PENDIDIKAN ISLAM
~
A.       Pengertian Alat Pendidikan Islam
Dalam pemanfaatan alat, erat kaitannya dengan mutu sekolah, juga tidak terlepas dari persediaan dana, apabila alat-alat peraga, alat bantu dalam pengajaran fisika, biologi, anatomi atau geografi, pendidikan agama. Banyak konsep pengetahuan yang harus dipelajari murid yang amat sulit, bahkan tidak mungkin dipahami tanpa bantuan alat pelajaran. Bagaimana membayangkan pengajaran anatomi manusia tanpa bantuan alat berupa tiruan tubuh manusia? Pengajaran tentang haji dapat dilakukan secara efektif dan efisien dengan bantuan rekaman video, pengajaran salat demikian juga (Ahmad Tafsir, 1992 : 90).
Sekalipun sederhana, tokoh-tokoh pendidikan Islam dahulu mengetahui pentingnya alat-alat bagi peningkatan mutu pendidikan. Dimulai dari amat sederhana, sampai penggunaan alat yang modern, dilihat dari sudut perkembangan teori pendidikan ketika itu.
Pada masa permulaan Islam, alat-alat yang dipergunakan dalam pengajaran amat sederhana. Pengajaran kadang-kadang di rumah dan di masjid. Rumah Rasululullah maupun rumah Arqam bin Abi Arqam pernah digunakan oleh para sahabat untuk mempelajari pokok ajaran Islam dan pengajaran hapalan Alquran. Atas pertimbangan ketentraman penghuni rumah tangga, maka kegiatan dipusatkan di masjid.
Alat pendidikan adalah segala bentuk alat yang dapat digunakan untuk menuntun atau membimbing anak-anak dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi berkepribadian muslim yang diridai oleh Allah Swt. ( Nur Uhbiyati, 1997 : 136-137).
Bila semua alat pendidikan di kalangan umat Islam amat sederhana, maka pada zaman pertengahan sudah ada ruangan yang luas untuk tempat perkuliahan, sudah ada asrama untuk mahasiswa, juga ada rumah-rumah pengajar, dilengkapi tempat rekreasi, kamar mandi, dapur dan ruang makan.
Berdasarkan berbagai sumber dapat diketahui bahwa yang paling diistimewakan oleh orang Islam pada zaman pertengahan dalam pembangunan sekolah ialah perpustakaan. Dari bahan bacaan itu kita mengetahui bahwa orang Islam pada zaman pertengahan telah mengetahui benar perlunya peralatan bagi pembangunan sekolah. Peralatan sekolah yang dapat disediakan mereka dapat dikatakan amat maju ketika itu (Ahmad Tafsir).
Seperti disebutkan di atas, alat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya pendidikan. Hal-hal  atau keadaan yang ikut serta menentukan berhasilnya pendidikan disebut faktor-faktor pendidikan. Sedangkan langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pelaksanaan pendidikan lebih jelas pengaruhnya pada proses pelaksanaan pendidikan. Jika faktor-faktor pendidikan hanya berupa kondisi atau situasi, maka alat-alat pendidikan sudah berbeda bentuknya (Amir Daien Indrakusuma, t.th., : 137-138).
Alat-alat pendidikan berupa perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang secara konkret dan tegas, guna menjaga agar proses pendidikan bisa berjalan dengan lancar dan berhasil (Amir Daien Indrakusuma). Tindakan-tindakan sebagai alat pendidikan dapat berbentuk seperti peraturan-peraturan, tata tertib, tetapi juga merupakan tindakan yang nyata seperti halnya dengan tindakan hukuman. Hal ini dapat dilihat pada penjelasan selanjutnya.
Semua tindakan, perbuatan dan sikap pendidik harus dapat menciptakan situasi edukatif yang memungkinkan anak didik menambah pengalaman atau memperoleh pengalaman baru.
Di dalam situasi interaksi dan komunikasi edukatif berlangsungnya proses transformasi, sosialisasi dan kanalisasi nilai-nilai pemanfaatan deduktif metodik yang efektif oleh pendidik mempunyai peranan yang besar. Di sini pendidik berfungsi sosial kultur sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Hoinz Flaching dalam majalah Education volume 09 tahun 1974 Universitas Hamburg, yaitu sebagai komunikator, inovator dan emansipator (Abdurrahman, 1988 : 78-79).
Dengan demikian alat pendidikan Islam dapat dibagi menjadi tiga bentuk antara lain:
1.         Alat Pendidikan yang Berbentuk Materi
Pada umumnya alat pendidikan yang dikenal saat ini Media Pendidikan. Alat (media) pendidikan yang berbentuk materi ini disebut perangkat keras (Hard Ware), misalnya gedung sekolah, laboratorium, alat peraga, Audio Visual Aids (AVA) (Zakiah Daradjat, 1992 : 80).
a. Gedung sekolah
Gedung sekolah yang mempunyai ruang belajar yang memenuhi syarat, jelas lebih memberikemungkinan kepada siswa untuk belajar lebih leluasa bila dibandingkan dengan ruangan yang sempit, udara yang kurang lancar sirkulasinya, cahaya yang kurang memenuhi syarat, demikian juga tentang ruang baca, ruang bimbingan dan penyuluhan, sampai kamar-kamar hajat seluruh civitas akademika suatu sekolah (Ahmad Tafsir, 1992 : 93)
b. Papan Tulis, Bulletin Board dan Display
Papan tulis digunakan hampir di setiap kelas. Papan tulis biasanya terbuat dari papan biasa, tripleks atau slate. Ini sangat baik untuk membuat tulisan, gambar, grafik dan sebagainya. Di sekolah-sekolah tradisional papan tulis biasanya dipakai secara penuh. Akan tetapi di sekolah-sekolah modern, dimana media teknologi cukup bervariasi, papan tulis biasanya digunakan secara terbatas. Sedangkan bulletin board dan.display secara khusus dan digunakan untuk mempertontonkan pekerjaan siswa atau boleh juga hasil karya kelas lain (Sudarwan Danim, 1990 : 18-19).
c. Alat Peraga
Alat peraga adalah semua alat yang digunakan ketika berlangsung proses belajar mengajar (Sudarwan Danim). Jenis-jenis peralatan pada umumnya sama kecuali sekolah tertentu sesuai dengan keperluannya masing-masing menurut khas pengajaran sesuai dengan tujuan kurikulum. Peralatan yang diperlukan oleh sekolah pertanian akan sedikit berbeda dari peralatan sekolah akuntansi, sekolah perawat kesehatan memerlukan alat-alat berbeda dari sekolah pertukangan demikian juga sekolah-sekolah keagamaan.
Sebenarnya persoalan ini telah diketahui umum. Kenyataan yang sering terjadi adalah kekurang telitian dalam perencanaan pengadaan peralatan. Kadang-kadang perencanaan itu tidak dibuat secara menyeluruh.
Alat peraga ini juga sangat variatif, misalnya:
v     Gambar dan illustrasi fotografi
v     Slide dan film strif
v     Film atau gambar hidup
v     Rekaman pendidikan dan televisi pendidikan
v     Peta dan globe
v     Model pameran dan museum sekolah
v     Dramatisasi dan demonstrasi (Oemar Hamalik, 1994 : 46-47).
Alat yang demikian mempunyai fungsi dan nilai. Fungsinya antara lain edukatif, sosial, ekonomis, politis dan seni budaya, sedang nilainya:
Meletakkan landasan berpikir, untuk mengurangi verbalisme, memperbesar perhatian siswa, meletakkan dasar yang penting untuk perkembangan belajar, memberikan pengalaman nyata untuk menumbuhkan gairah mencari sendiri, menumbuhkan sistematika berpikir berkelanjutan, membantu perkembangan berbahasa (Hamalik).
Dengan demikian alat-alat pendidikan sangat membantu kelancaran proses belajar mengajar. Hal ini menurut hemat penulis tergantung pada materi dan kecekatan pendidikan dalam mengelola secara efektif.
2. Alat Pendidikan Non Materil
Pergaulan
Manusia makhluk Tuhan yang mulia dan mempunyai kecenderungan untuk berinteraksi dengan orang lain. Secara sosiologis ia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang lain. Implikasinya akan terbangun suatu komunitas (masyarakat) saling kenal mengenal.
Kewibawaan (Gezag)
Gezag berasal dari kata Seggen yang berarti berkata. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezag terhadap orang lain (Ngalim Purwanto, 1987 : 35).
Selanjutnya bagaimana melihat perbedaan antara kewibawaan orang tua dan guru terhadap pendidikan lainnya kepada anak didik?
Zakiah Daradjat menyebut orang tua sebagai pendidik pertama dan utama (ayah dan ibu) (Zakiah Daradjat, 1992 : 35). Karena keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang. Merekalah pendidik asli; yang menerima tugas dan kodrat Tuhan untuk mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka mempunyai kewibawaan terhadap anak-anaknya. Adapun kewibawaan orang tua memiliki dua sifat:
1.      Kewibawaan Pendidikan
Kewibawaan orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak dari gangguan jasmani dan rohani. Pembawaan itu berakhir bila anak sudah dewasa.
2.      Kewibawaan Keluarga
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peraturan-peraturan yang harusdipenuhi dan dijalankan setiap anggota keluarga. Dengan demikian kewibawaan dalam keluarga bertujuan untuk pemeliharaan dan keselamatan keluarga. Soal sesudah dewasa atau belum, itu bukan soal yang penting lagi.
Kewibawaan guru atau pendidik lainnya. Guru atau pendidik lain yang bukan orang tua, menerima jabatannya sebagai pendidik bukan dari kodrat (dari Tuhan), melainkan dari pemerintah. Ia ditunjuk, ditetapkan dan diberi kekuasaan sebagai pendidik oleh negara atau masyarakat. Maka dari itu, kewibawaan yang ada padanya pun berlainan dengan kewibawaan orang tua (Daradjat : 36).
Kewibawaan guru atau pendidik lainnya yang karena jabatan, juga memiliki dua sifat, yakni  :
      1. Kewibawaan Pendidikan
Kewibawaan guru atau pendidik itu berkenaan dengan jabatan yakni telah diserahi sebahagian dari tugas orang tua untuk mendidik anak-anak. Kewibawaan yang lain yakni dari pemerintah yang mengangkat dari mereka.
      2. Kewibawaan Memerintah
Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik karena jabatan mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi kekuasaan (gezag) oleh pemerintah atau instansi yang mengangkat mereka kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas di sanalah anak-anak telah diterangkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan itu lebih luas meliputi pimpinan sekolahnya (Daradjat).
Alat tersebut menurut Indrakusuma dibedakan kedalam dua bentuk yaitu alat pendidikan preventif dan represif.
a.       Alat Preventif
Alat preventif adalah alat pendidikan yang bersifat pencegahan. Tujuannya untuk menjaga agar hal-hal yang dapat menghambat atau mengganggu kelancaranan dari proses pendidikan bisa dihindarkan termasuk dalam alat-alat pendidikan preventif adalah : Tata tertib, anjuran, perintah, larangan, paksaan dan disiplin.
Tata tertib, merupakan serentetan peraturan yang harus ditaati dalam suatu situasi atau dalam tata kehidupan tertentu. Anjuran, sebagai saran atau ajakan untuk berbuat atau melakukan sesuatu yang berguna. Larangan, sebenarnya sama saja dengan perintah. Perintah orientasinya hal-hal yang bermanfaat, sebaliknya larangan (merugikan). Paksaan, sebagai suatu perintah dengan kekerasan terhadap anak untuk melakukan sesuatu. Paksaan dilakukan dengan tujuan, agar jalannya proses pendidikan tidak terganggu atau terhambat, sedangkan disiplin, adalah adanya kesediaan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan larangan. Kepatuhan itu bukan karena tekanan dari luar, melainkan kesadaran adanya nilai peraturan dan larangan (Amir Daien Indrakusuma, t.th : 140-142).
Muatan disiplin cukup padat karena sasarannya membuat pribadi integral yang merupakan refleksi batin. Untuk itu ada upaya-upaya strategi untuk menanamkan disiplin pada anak adalah:
1. Pembinaan dengan Keteladanan
Keteladanan sebagai salah satu cara yang ampuh dalam membentuk kepribadian anak. Untuk itu aktivitas orang tua dan pendidik (guru) menjadi pusat perhatian anak. Ini sebagai metode iman (Departemen Agama RI, 1989 : 670).
Secara psikologis manusia, ternyata memang memerlukan contoh teladan dalam hidupnya. Meniru salah satu sifat pembawaan manusia. Keteladanan manusia ituada dua macam, yaitu peneladanan yang tidak disengaja seperti dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat ikhlas. Setelah itu keteladanan yang disengaja, seperti memberikan contoh membaca yang baik, mengerjakan salat (Ahmad Tafsir : 143)
2. Pembinaan dengan Pembiasaan
Dalam pembinaan anak melalui pembiasaan dan latihan sangat diperlukan yang harus sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Pembiasaan ini pada prinsipnya membentuk kepribadian dan sikap anak yang lambat laun sikap itu tergoyahkan karena telah menjadi bahagian dari kepribadiannya (Ahmad Tafsir). Manusia pada awal penciptaannya dalam keadaan suci dan bertauhid murni, beragama yang lurus, sebagaimana digambarkan dalam Alquran (Departemen Agama RI : 641).
3. Pembinaan dengan penyadaran
Di samping adanya pembiasaan dan keteladanan maka anak mulai kritis perlu diberi penjelasan tentang pentingnya peraturan-peraturan itu di dalamnya. Lambat laun anak akan menyadari nilai dan fungsi dari peraturan itu (Indrakusuma).
Menurut Ulwan, pembinaan agar anak menjadi baik yang secara praktis melalui pendidikan ketaladanan, adat kebiasaan, memberikan perhatian dan memberikan hukuman (Abdullah Nasih Ulwan, t.th. : 2).
a.   Alat Pendidikan Represif
Alat pendidikan represif disebut juga alat pendidikan kreatif atau alat pendidikan korektif.
Alat pendidikan represif bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar, baik dan tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi sesuatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan (Indrakusuma : 147). Bandingkan dengan M. Athiyah al-Abrasyi, 1970 : 153-158). Termasuk dalam alat-alat pendidikan represif adalah : Pemberitahuan, teguran, peringatan, hukuman dan ganjaran.
1.      Pemberitahuan ; maksudnya adalah pemberitahuan kepada anak yang telah melakukan sesuatu yang mengganggu atau menghambat jalannya proses pendidikan.
2.      Teguran ; teguran itu diberikan kepada anak yang belum mengetahui suatu hal, maka teguran ini berlaku bagi anak yang telah mengetahui. Jadi perbuatan anak itu dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran. Teguran diberikan kepada anak yang baru satu kali atau dua kali melakukan pelanggaran.
3.      Peringatan ; peringatan diberikan kepada anak yang beberapa kali melakukan pelanggaran. Dalam pemberian peringatan ini disertai ancaman akan sanksinya bilamana terjadi pelanggaran lagi. Alquran pun telah memberikan isyarat kepada kita (Departemen Agama RI : 645).
4.      Hukuman ; sebagai pencegahan yang terakhir bila melewati beberapa tahap di atas, agar tidak terjadi pelanggaran.
Hukuman dalam pendidikan Islam itu memiliki pengertian yang luas, dari hukuman yang ringan sampai kepada hukuman yang agak menyakitkan, namun suatu hukuman pada prinsipnya hanya satu, yaitu adanya unsur menyakitkan, baik jasmani maupun rohani (Sikun Pribadi, 1987 : 6 & 9).
Pada prinsipnya tidak ada ahli pendidikan yang mengkehendaki hukuman dalam pendidikan, kecuali hal itu dalam keadaan terpaksa, itupun dilakukan dengan sangat hati-hati. Bila hal itu dilakukan menurut hemat penulis akan diintegrasi (hubungan tidak harmonis, wibawa guru akan turun). Hukuman yang dilakukan oleh pendidik baik itu di rumah maupun di lembaga pendidikan tertentu sangat berbeda dengan hukuman-hukuman umum.
A.                 Alat Pendidikan Langsung dan Tidak Langsung
Alat pendidikan langsung dan tidak langsung hanya bersifat insidental. Insidental adalah hal-hal yang bernuansa positif muncul secara tiba-tiba yang tak terduga. Ketika proses pembelajaran berlangsung seorang guru ingin melihat lebih jauh dari setiap informasi materi yang telah dijumpai yang terdahulu dengan mengadakan appersepsi. Appersepsi adalah pemunculan pertanyaan yang ditujukan kepada siswa untuk mengukur daya serap terhadap materi yang telah disampaikan. Olehnya itu ada dua hal penting yang akan muncul yaitu:
1.                       Pujian
Pujian yang diberikan oleh pendidik (guru) sebelum memulai pelajaran baru atau pada saat appersepsi berlangsung yang diselingi umpan balik (pertanyaan). Ketika anak memberi jawaban balik dan ternyata jawaban itu benar, maka anak perlu mendapat pujian, sekalipun jawaban itu sedikit pada sasaran yang dikehendaki.
2.                     Sentuhan
Setelah pujian perlu juga sentuhan. Sentuhan ini implikasinya cukup beragam. Dalam artian mengandung nuansa pendidikan yakni membangun keharmonisan dan keakraban interaksi sosial antara guru dan murid (tidak terjadi disintegrasi).
BAB VII
LAPANGAN PENDIDIKAN ISLAM
d,f
Berbicara tentang lapangan pendidikan Islam, maka tidaklah terlepas dari lembaga pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan Islam itu berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi, tumbuh dalam berbagai jenis dengan ciri dan kekhususan masing-masing.
Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari pertumbuhan peradaban Islam yang memuat reaksi-reaksi terhadap kondisi sosial keagamaan umat Islam. Sebelum datangnya Islam, tradisi pendidikan bangsa pada dasarnya di lembaga kuttab atau dengan tutor pribadi, dapat memilih dari berbagai jenis lembaga, mulai dari Madrasah sampai pada Dar al-Qur’an dan Dar al-Hadis atau Halakah, Masjid, Perpustakaan atau di rumah para Syekh.
BEBERAPA LAPANGAN PENDIDIKAN ISLAM
* Kuttab
Kuttab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis (Zuhairini dkk., 1992:89).
Sebelum datangnya agama Islam, kuttab telah ada di negeri Arab, meskipun belum tersiar betul. Di antara penduduk Mekah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sofyan ibn Umayyah ibn Abdu Syams dan Abu Qais ibn Abdi Manaf ibn Zuhrah ibn Kitab (Ahmad Syalaby, 1973 : 33). Keduanya belajar dari Bisyr ibn Abdil Malik yang mempelajari di negeri Hirah.
Sewaktu agama Islam diturunkan oleh Allah Swt. sudah ada di antara para sahabat yang pandai tulis baca yang rupanya mendapat tempat dan motivasi yang kuat dalam Islam, sehingga berkembang luas di kalangan umat Islam. Apalagi ayat Alquran yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam.
Fungsi kuttab yaitu sebagai lembaga pendidikan dasar terutama mengajarkan tulis-baca untuk memungkinkan komunikasi antara umat Islam dengan suku dan bangsa yang lain.
Pada mulanya pendidikan kuttab berlangsung di rumah-rumah para guru (muallim atau muaddib) atau di pekarangan sekitar masjid. Kebanyakan guru kuttab masa awal Islam adalah non muslim, sebab muslim yang dapat membaca dan menulis jumlahnya masih sangat sedikit, sibuk dengan pencatatan wahyu Alquran (Hasan Asari, 1994 : 24-25).
Waktu belajar pada kuttab mulai pagi hari Sabtu dan selesai pada waktu ashar hari Kamis. Hari Jumat adalah waktu istirahat. Selain sehari pada hari raya Idul Fitri dan tiga hari pada hari raya Idul Adha (Mahmud Yunus, 1981 : 50-51).
Lama belajar di kuttab tidaklah sama, tergantung kepada kecerdasan dan kemampuan masing-masing, karena sistem pengajaran pada masa itu belum dilaksanakan secara klasikal, tetapi pada umumnya anak-anak menyelesaikan pendidikan dasar ini selama kurang lebih 5 tahun.
* Pendidikan Rendah di Istana-istana
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya setelah ia dewasa kelak.
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua muridlah yang membuat rencana pelajaran tersebut (Zuhairini:92).
Guru yang mengajar di istana disebut muaddib karena mereka berfungsi menjadikan budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan orang-orang dahulu kepada anak-anak pejabat (Ahmad Syalaby : 48).
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja rencana pelajaran pada kuttab, hanya ditambah dan dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapi dalam kehidupan kelak.
* Toko-toko Kitab
Pada permulaan masa Daulah Bani Abbasiyah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam sudah tumbuh dan berkembang diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab.
Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Namun demikian lambat laun kitab-kitab berkembang fungsinya bukan saja sebagai tempat berjual beli. Akan tetapi lebih dari itu, juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
* Rumah-rumah para Ulama
Walaupun sebenarnya rumah bukan merupakan suatu tempat yang baik untuk memberikan pelajaran, namun pada masa permulaan Islam, pelajaran agama diberikan di rumah-rumah. Rasulullah sendiri menggunakan rumah Arqam bin Abi Arqam sebagai tempat pertemuan dengan para sahabat dan pengikut-pengikut beliau dan mengajarkan kaidah-kaidah Islam serta membacakan ayat-ayat Alquran (Athiyah al-Abrasyi, 1990 : 51).
Selanjutnya Ahmad Syalaby mengemukakan bahwa di antara rumah-rumah yang amat penting menjadi tempat belajar adalah: rumah Ibnu Sina, al-Gazali, Ali ibnu Muhammad al-Farizi, Yakub, Ibnu Killis, Wazir khalifah al-Aziz billah al-Fatimy (Ahmad Syalaby : 59-61).
Rumah-rumah mereka dianggap penting karena terpaksa dan dalam keadaan darurat, misalnya rumah al-Gazali setelah tidak mengajar lagi di Madrasah Nizamiyah dan menjalani kehidupan sufi, sehingga para pelajar yang kehausan ilmu pengetahuan datang ke rumahnya.
* Majelis atau Salon Kesusasteraan
Majelis atau salon kesusastraan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman khulafaurrasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu (Zuhairini dkk. : 95-96).
Di majlis sastra diadakan diskusi-diskusi, pembahasan dan perdebatan dalam masalah-masalah ilmiah dan kesusastraan (Mahmud Yunus : 86). Oleh sebab itu majlis tersebut terdiri dari beberapa macam, ada majlis kesusastraan, majlis ilmu pengetahuan dan majlis kesenian.
Pada masa Harun al-Rasyid (170-193 H.) majlis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan sehingga khalifah sendiri aktif di dalamnya. Di samping itu pada masa tersebut dunia Islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan negara berada dalam kondisi aman, tenang dan dalam zaman pembangunan.
* Badiah (Padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
Sejak berkembangnya Islam, bahasa Arab digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang beragama Islam. Orang di luar bangsa Arab sering tidak bisa menggunakan lafaz-lafaz dengan baik, tidak mengetahui kaidahnya sehingga salah dalam mengucapkan. Namun di badiah atau di dusun tempat tinggal orang Arab tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab serta memelihara kaidah-kaidah bahasanya.
Oleh karena itu khalifah-khalifah biasanya mengirim anak-anaknya ke badiah-badiah untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih lagi murni dan mempelajari pula syair-syair serta sastra Arab dari sumber yang asli. Banyak ulama dan ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dengan tujuan mempelajari bahasa Arab dan kesusastraan Arab yang asli. Dengan demikian badiah-badiah tersebut menjadi sumber ilmu pengetahuan dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan terutama bahasa dan sastra Arab (Zuhairini dkk. : 96-97).
* Zawiyah/Masjid
Kata Zawiyah berarti sudut masjid yang digunakan I’tikaf (diam) dan beribadah yang berasal dari kata “inzawa, yanzawi” yang berarti “mengambil tempat tertentu” atau “sudut tertentu” dari sudut-sudut masjid untuk menjalankan  I’tikaf dan mensyiarkan urusan agama.  Masjid sangat erat hubungannya dengan sejarah pendidikan Islam, ia merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam sejak awal dibangun oleh Nabi Muhammad saw. Di masjid diajarkan tentang iman, takwa, akhlak dan ajaran-ajaran kemasyarakatan.
Peranan masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya cakap dan mampu untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang yang haus akan ilmu pengetahuan.
Di masjid terdapat dua tingkatan sekolah yaitu tingkat menengah dan tingkat perguruan tinggi. Pelajaran yang diberikan pada tingkat menengah dilakukan secara perorangan. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi dilakukan secara halaqah, murid duduk bersama mengelilingi gurunya yang sedang memberikan pelajaran kepada mereka.
Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan oleh para pengusaha pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan seperti tempat pendidikan anak-anak, tempat pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok (halaqah), tempat berdiskusi dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga dilengkapi berbagai ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Sepanjang sejarah dalam dunia Islam, masjid tetap memegang peranan pokok, di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, juga sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama muslim.
* Al-Maristan
Maristan dikenal sebagai lembaga ilmiah yang paling penting dan sebagai tempat penyembuhan dan pengobatan pada zaman keemasan Islam di dalamnya para dokter mengajar ilmu kedokteran dan mereka secara tekun mengadakan studi penelitian secara menyeluruh. Di antara dokter yang paling terkenal kemampuan dan kemasyhurannya di dunia Islam dan negara Barat ialah  Mohammad bin Zakaria ar-Razi dimana beliau pernah dipercaya untuk memimpin Maristan di Bagdad pada masa khalifah 1-Muktafa pada tahun 311 Hijriah. Dalam ilmu kedokteran telah dikenal suatu tradisi yang masyhur yang dipraktekkan oleh ar-Razi dalam mendidik murid-muridnya dengan cara membagi kelompok sebagai berikut:
a.       Halaqah pertama mahasiswa ditugaskan untuk mendiagnosa dan meneliti penyakit pasien yang diserahkan kepada mereka, lalu memberikan obat-obatan yang telah ditentukan.
b.      Halaqah kedua; bertugas mendiskusikan masalah yang timbul aktual. Jika halakah ini tidak berhasil menyelesaikan tugasnya, maka diserahkan kepada halakah mahasiswa yang ketiga.
c.       Pada halaqah yang ketiga inilah, ar-Razi turun tangan menyelesaikan pekerjaan itu sendiri; dan menjelaskan kepada mahasiswanya yang ada pada halakah ketiga ini dengan hasil penelitiannya tentang kondisi pasien serta menentukan jenis penyakitnya dan obat penyembuhannya yang efektif. Bersamaan dengan itu ar-Razi mengarahkan sistem observasi yang benar bagi mahasiswanya dalam kegiatan studinya.

BAB VIII
PENDIDIKAN :  WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
^W^
Pendidikan secara kultural pada umumnya berada dalam lingkup peran atau wewenang, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of  konowledge dan transfer of values (Hasbullah, 1996 : 5).
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolok ukur kemajuan suatu bangsa dan menjadi cermin kepribadian masyarakatnya. Dalam konteks ini Mohammad Noer Syam dalam bukunya Filsafat Pendidikan, mengemukakan bahwa:
Hubungan masyarakat dengan pendidikan menampakkan hubungan korelasi positif. Artinya pendidikan yang maju dan modern akan menghasilkan masyarakat yang maju dan modern pula. Sebaliknya pendidikan yang maju dan modern hanya ditemukan dan diselenggarakan oleh masyarakat maju dan modern (Mohammad Noer Syam, 1986 : 348).
Memang bangsa yang maju selalu diawali dengan keberhasilan di bidang pendidikannya, sebab pendidikanlah yang mencetak sumber daya manusia (SDM) yang pada prinsipnya sebagai penggerak roda pemerintahan. Kalau demikian, mustahil negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, dan Perancis maju tanpa dimulai dengan keberhasilan di bidang pendidikan.
Urgennya pendidikan bagi suatu bangsa, menggugah pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu kebijaksanaan yang dituangkan dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 27 Maret 1989.
Wewenang danTanggung Jawab Pendidikan
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub sistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat kita pahami dari hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Berbicara tentang pendidikan tidak dapat dilepaskan dari adanya peran strategis sekolah dalam menyikapi perkembangan kebutuhan terhadap pendidikan yang semakin dirasakan.
Dalam konteks pembangunan yang sedang digalakkan bangsa Indonesia, pendidikan berada pada posisi dan peran yang sangat strategis. Peran itu secara prinsip sedang mengarah pada adanya suatu tujuan, yakni meningkatkan kemakmuran (prosperity) masyarakat secara keseluruhan.
Karena peran strategis pendidikan, pendidikan hendaknya ditempatkan pada posisi yang penting dalamakselerasi pembangunan. Harus pula disadari bahwa pendidikan merupakan langkah untuk mewujudkan investasi sumber daya manusia (human investment) yang penting di era globalisasi ini (Mukhtar, 2002 : 1).
Sasaran pembangunan di bidang pendidikan untuk semua jenis dan jenjang sekolah pada prinsipnya ditujukan untuk peningkatan mutu pendidikan. Wujud akhir dari mutu suatu pendidikan dapat dilihat dan diukur dari kualitas lulusan yang dihasilkan. Kualitas lulusan, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotor, merupakan hasil dari proses interaksi antara semua komponen dalam sistem sekolah dan berbagai faktor yang mempengaruhi berlangsungnya sistem dari proses pendidikan.
Meski demikian, tidak berarti semua proses interaksi berbagai komponen dan factor dengan sendirinya akan mampu secara langsung mencapai sasaran dalamupaya peningkatan mutu pendidikan. Masih terdapat faktor lain, seperti proses yang direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan secara sistematis dan bijak yang akan mampu mencapai sasaran peningkatan mutu pendidikan. Masih terdapat faktor lain, seperti proses yang direncanakan, dikembangkan dan dilaksanakan secara sistematis dan bijak yang akan mampu mencapai sasaran peningkatan mutu pendidikan yang bertumpu pada sekolah tersebut.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah memberikan arahan dan kaidah tentang berbagai dimensi sistem pendidikan, mengenai hakikat, fungsi, tujuan pendidikan, peran setiap jenjang pendidikan, materi pendidikan, penilaian, pengelolaan, dan dimensi lain dari sistem pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) ini memandang pembangunan nasional di bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri, baik yang berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah.
Namun kenyataannya, pendidikan di negara kita belum ditempatkan pada posisi yang sewajarnya. Kondisi yang seperti ini dapat dilihat dalam berbagai segi, di antaranya sistem sekolah kita yang masih terlalu panjang (SD, SLTP, SMU/SMK, dan PT) yang masing-masing memakan waktu yang cukup lama, diskriminatif, pelayanan masih di bawah rata-rata, sampai kepada masalah kurang mampunya sistem pendidikan sekolah kita untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi para peserta didik dan pengguna jasa pendidikan (stakeholder). Juga masih belum seimbangnya antara amanat pendidikan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya dengan komitmen pembiayaan yang dialokasikan dalam anggaran operasional pendidikan(Mukhtar, 2002 : 2).
Banyaknya harapan yang belum terpenuhi menyebabkan munculnya kecemasan yang tinggi. Hal ini menuntut adanya pembekalan untuk pendidikanpersekolahan agar terjadi akselerasi kea rah pembelajaran masyarakat yang bertumpu di sekolah. Akselerasi pembelajaran masyarakat menuntut kesiapan sekolah, baik secara internal maupun eksternal.
Harapan dan tingkat kecemasan tadi, juga terkait dengan lamanya sistem pendidikan persekolahan. Seperti diketahui, pendidikan kita pada sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi memerlukan  waktu sebagai berikut: SD selama 6 tahun, usia 7-12 tahun; SLTP selama 3 tahun, usia 13-15 tahun; SMU/SMK 3 tahun, usia 16-18 tahun; dan perguruan tinggi S1 4 tahun, usia 19-22 tahun, S2 2 tahun, usia 23-24 tahun, serta S3 3 tahun, usia 25-27 tahun. Jadi, dalam keadaan normal dan lancer, masa sekolah ini menghabiskan waktu selama 21 tahun untuk mencapai jenjang pendidikan tertinggi (S3). Waktu ini relative cukup panjang, terlebih apabila ada kendala dalam menjalani pendidikan, seperti tidak naik kelas, drop out, kesulitan biaya, dan bencana alam.
 Sistem yang masih dipertahankan ini merujuk pada sistem pendidikan kolonial. Lamanya pendidikan sekolah menyebabkan pendidikan menjadi tidak efektif dan efisien. Belum lagi kondisi sekolah-sekolah yang tidak produktif dalam menghasilkan sumber daya yang professional dan berkualitas.
Oleh karena itu langkah-langkah antisipasi kea rah reformasi pendidikan dengan model atau pola system akselerasi, dipandang tepat untuk diterapkan saat ini. Dengan program akselerasi ini, lama pendidikan SD bisa dipersingkat menjadi empat tahuin, SLTP bisa 2 tahun, demikian pula SMU/SMK cukup 2 tahun saja. Tentu hal ini harus diterapkan dengan dukungan sistem pendidikan dan metode pengajaran yang efektif dan efisien. Memang akan muncul konsekuensi dari sistem akselerasi ini, seperti perlunya memperhitungkan kembali kebutuhan guru, baik mengenai pengadaan maupun penempatannya, jumlah ruang kelas dan penggunaannya, perkiraan anggaran dan penentuan usia peserta didik. Namun hal ini, bukanlah tidak dapat diatasi.
BAB IX
FAKTOR-FAKTOR PENDIDIKAN ISLAM
iiWpp
Telah dijelaskan bahwa secara ideal tujuan pendidikan agama Islam adalah untuk membentuk kepribadian muslim yang utuh dan sempurna, dalam arti segala aktivitas hidupnya hanya semata-mata mengabdikan dirinya kepada Allah Swt. menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah dengan mewujudkan kebahagiaan hidup di bumi, kemakmuran yang membawanya kepada kebahagiaan hidup di akhirat kelak.
Untuk mencapai tujuan tersebut selain ditentukan oleh hal-hal yang dijelaskan di atas seperti materi/isi pendididikan, tujuan pendidikan, maka tidak kalah pentingnya beberapa faktor lainnya dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan agama Islam Islam yang telah ditetapkan.
Faktor-faktor yang penulis maksudkan sebagaimana dikemukakan oleh Langeveld, sebagai berikut:
v     Faktor Anak Didik
v     Faktor Pendidik
v     Faktor Tujuan Pendidikan
v     Faktor Alat Pendidikan
v     Faktor Sekitar (Abdurrahman, 1989 : 36).
Untuk lebih jelas tentang faktor-faktor tersebut, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
1.   Faktor Anak Didik
Telah diketahui bersama bahwa anak adalah amanah Allah Swt. di atas pundak dan ibu dari anak tersebut. Selanjutnya kepada guru sebagai pendidik di sekolah kemudian masyarakat sebagai pendidikan di lingkungan pendidikan non-formal. Anak masih dalam keadaan utuh dan bersih, dan masih akan menerima lukisan dan ukiran. Anak akan cenderung kepada sesuatu yang dicenderungkan kepadanya, dan apabila dibiasakan dengan hal-hal yang baik, maka ia akan tumbuh dan berkembang dalam keadaan baik. Selanjutnya apabila anak dibiasakan dengan kebiasaan yang buruk maka ia akan manusia yang hidupnya penuh dengan kebodohan (al-Gazali, 1966:189).
Dengan demikian maka jelaslah bahwa merupakan sasaran atau objek di dalam proses pendidikan agama Islam. Anak merupakan manusia yang masih memerlukan didikan, bimbingan dan pengarahan dari orang yang telah dewasa yang memiliki ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya orang tua, guru dan pemerintah.
2.   Faktor Pendidik
Pendidik merupakan faktor yang tak kalah pentingnya di dalam aktivitas pendidikan, sebab pendidik sebagai subjek di dalam mendidik, membimbing dan mendorong anak didiknya. Pendidik adalah teladan yang harus ditiru. Pendidik diharapkan untuk memerlukan anak didiknya tidak seperti domba atau ternak yang perlu digembala dan didisiplinkan, melainkan sebagai manusia yang mudah dipengaruhi, yang sifat-sifatnya harus dibentuk dan harus dituntun olehnya untuk mengenal pendidikan moral, akidah yang dianut oleh masyarakat; baik pendidikan dalam lingkungan keluarga (orang tua), pendidik di lingkungan sekolah (guru) maupun pendidik di lingkungan masyarakat (pemerintah).
Sebagai orang tua yang merupakan pendidik dalam rumah tangganya, mempunyai tanggung jawab yang besar, baik tanggung jawab kodrati atau tanggung jawab keagamaan, maupun tanggung jawab sebagai seorang yang melahirkan anak tersebut. Dia harus mendidik anak menjadi orang yang beriman, berilmu serta menjadi orang yang bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya. Mendidik anak menjadi orang yang saleh dalam arti yang luas, yaitu mampu mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup mereka dan umat Islam, atau tercapainya tujuan pendidikan agama Islam. Allah Swt berfirman :
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَ هْلِيْكُمْ نَارََا
Artinya :
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Q.S.66 : 6).
Seorang guru yang merupakan pendidik dalam pendidikan formal (sekolah) mempunyai tanggung jawab yaitu tanggung jawab yang disebabkan oleh pelimpahan sebahagian tanggung jawab orang tua, serta tanggung jawab yang disebabkan karena tanggung jawab guru sebagai seorang muslim terhadap muslim lainnya.
Mengenai tanggung jawab guru tersebut, Allah Swt., memerintahkan kepada sebahagian orang-orang yang beriman pergi mencari ilmu pengetahuan kemana saja, setelah memiliki ilmu pengetahuan hendaknya kembali ke negeri asal mereka dan mentransferkan pendidikan atau ilmu pengetahuan yang mereka peroleh itu kepada orang lain yang membutuhkan termasuk anak didik atau murid. Allah Swt., berfirman:
فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَـةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةً لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya :
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatann kepada kaumnya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya (Q.S.9 : 301).
Demikian pula pemerintah yaitu tidak kecil tanggung jawabnya terhadap pendidikan agama Islam, sebab di sini letak kunci hidup makmur dan bahagian bagi seluruh rakyatnya. Tanggung jawab pemerintah ini datang dari dua segi yaitu karena mereka dipilih untuk mengurus urusan rakyat dalam hal ini yang paling pokok adalah tentang pendidikan mereka. Di samping itu tanggung jawab masing-masing pribadi pejabat pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam kepada sesamanya atau mencegah kemunkaran dan menyeru kepada yang makruf (baik).
3.   Faktor Tujuan Pendidikan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tujuan merupakan sasaran atau objek yang ingin dicapai dalam suatu usaha/kegiatan di dalam aktivitas pendidikan agama Islam tersebut, maka akan mendatangkan kesia-siaan, sebab bagaimana pun tujuan merupakan faktor terpenting dari semua faktor yang ada dengan tidak melepaskan satu dengan lainnya, hanya saja pada akhirnya pendidikan agama Islam akan bermuara pada tujuan yang akan dicapai itu, yaitu pembentukan kepribadian anak didik menjadi manusia yang utuh, sempurna jasmani dan rohani, manusia yang bertakwa kepada Allah Swt., berakhlak mulia, berilmu pengetahuan yang banyak, disiplin, berpendirian teguh, melaksanakan dan tunduk atas perintah Allah Swt. serta menjauhi diri dari apa yang dilarang oleh-Nya.
4.   Faktor Alat Pendidikan
Perlu diketahui bahwa segala usaha atau perbuatan yang dilakukanpendidik ditujukan untuk melaksanakan tugas pendidikan, termasuk alat pendidikan. Menurut Syahminan Zaini, bahwa alat pendidikan Islam adalah tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan agar pendidikan Islam tersebut berjalan dengan lancar dan berhasil (Syahminan Zaini, 1986 : 143).
Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan alat pendidikan adalah tindakan, sikap, situasi yang diciptakan oleh pendidik di dalam melaksanakan tugasnya membimbing anak didik ke arah pencapaian tujuanpendidikan agama Islam. Oleh karena itu, seorang guru khususnya serta pendidik umumnya dituntut untuk menggunakan sarana tersebut secara efektif, selektif dan kreatif, dinamis dan bertanggung jawab. Artinya pendidikan yang menentukan berhasil atau tidaknya penggunaan alat pendidikan itu sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan dengan melibatkan secara efektif, aktif, kreatif serta bertanggungjawab kepada anak didik yang berlangsung pada setiap lingkungan pendidikan.
Untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diinginkan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, maka seorang pendidik dituntut untuk memilih alat-alat pendidikan yang baik dan sesuai, yaitu harus memperhatikan empat faktor atau syarat, yaitu:
v     Tujuan apakah yang hendak dicapai dengan alat itu
v     Siapa (pendidik) yang menggunakanalat itu
v     Anak (si terdidik) yang mana dikenakan alat itu
v     Bagaimana menggunakan alat itu (M. Ngalim Purwanto, 1985:224).

Dengan demikian keempat syarat tersebut di atas, merupakan hal yang mutlak untuk diketahui oleh pendidik, sehingga akan mudah di dalam membimbing dan mendidik anak dengan menggunakan alat-alat itu. Sebab alat-alat pendidikan sangat luas sekali, bahkan termasuk di dalamnya kurikulum, metode, evaluasi dan sebagainya. Demikian pula tindakan, sikap, situasi, termasuk alat-alat peraga. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, maka Syahminan Zaini membagi alat pendidikan Islam itu kedalam 2 bagian besar yang masing-masing dibagi dalam sub bagian, yaitu:
1.         Amar Ma’ruf:
a.       Dengan ajaran-ajaran yang baik
b.      Dengan teladan yang baik
c.       Dengan ganjaran
2.         Nahi Munkar:
a.       Dengan menjauhi kejahatan
b.      Dengan peringatan atau teguran, kalau kesalahannya masih ringan
c.       Dengan hukuman (Syahminan Zaini : 143).
5. Faktor Sekitar
Faktor sekitar atau lingkungan merupakan kondisi, situasi, suasana dan semua sumber daya yang mempengaruhi berlangsungnya proses pendidikan, baik berupa lingkungan fisik (bangunan-bangunan, taman-taman, industri serta keadaan yang sengaja dibuat oleh pendidik dan sebagainya) maupun lingkungan non fisik (nilai-nilai budaya dan adat istiadat, bentuk dan sistem pemerintahan, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya), yang turut mempengaruhi terhadap kelangsungan proses pendidikan, artinya secara aktif dan insentif turut membentuk atau memberi corak, warna dan pola kehidupan pendidikan. Dalam posisi dan fungsinya yang demikian maka alam sekitar/lingkungan pendidikan merupakan bahagian yang integral dari faktor-faktor pendidikan lainnya.
Lingkungan pendidikan yang penulis maksudkan, terdapat di dalam pusat-pusat pendidikan yaitu rumah tangga, sekolah dan di dalam masyarakat. Meskipun di dalam pusat-pusat pendidikan yang merupakan lembaga-lembaga pendidikan formal, informal dan non formal itu, dijumpai persamaan dan perbedaan kondisi, situasi, suasana dan sumber daya pada kelangsungan pendidikan, namun lingkungan pendidikan harus tetap bersifat positif, progressif terhadap proses pendidikan. Di sinilah letak peranan pendidik menciptakan lingkungan pendidikan  yang tepat, membawa keberuntungan, sehingga benar-benar lingkungan tersebut dapat mendukung pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, di dalam menciptakan lingkungan sekitar senantiasa hati-hati dan waspada jangan sampai lingkungan tersebut justru hanya membawa ketidakberuntungan, menghambat dan membahayakan kelangsungan proses pendidikan.
Sehubungan dengan lingkungan pendidikan tersebut di atas, maka Sartain membagi lingkungan pendidikan atas tiga bahagian yaitu:
a.     Lingkungan Alam atau Luar (Exsternal or physical enviroment)
b.     Lingkungan Dalam (Internal Enviroment)
c.      Lingkungan Sosial (Social Enviroment) (Ngalim Purwanto : 77).
 Dengan demikian maka jelas bahwa lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang di dalam kreativitas dan aktivitas pendidikan, pengajaran, seperti lingkungan alam (yang bukan manusia), misalnya tumbuh-tumbuhan, iklim, hewan dan sebagainya; lingkungan dalam juga sangat menentukan, seperti makanan yang telah kita makan, minuman dan sebagainya; serta lingkungan sosial yaitu semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita, misalnya teman-teman, kawan sekolah, keluarga dan sebagainya.
Dari penjelasan tentang faktor-faktor determinan dalam pendidikan Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahwa antara kelima faktor itu merupakan faktor penentu di dalam proses pendidikan maupun pengajaran, yang antara satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan melainkan satu komponen yang saling berhubungan, yaitu faktor anak didik, faktor pendidik, tujuan pendidikan, faktor alat pendidikan maupun faktor lingkungan pendidikan.


BAB X
SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
sQg
Pendidikan Islam tampaknya tidak terhindar dari kemelut yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya. Bahkan konflik yang dihadapi oleh sistem pendidikan Islam jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dilema yang melanda pendidikan yang tidak memasukkan dimensi keagamaan. Oleh karena itu, di dalam pendidikan Islam terdapat multi paradigma atau dengan kata lain, beban yang diemban pendidikan Islam mencakup aspek yang sangat kompleks, seperti : Dimensi Intelektual, dimensi kultural, dimensi nilai-nilai transedental, dimensi keterampilan fisik/jasmani, dan dimensi pembinaan kepribadian manusia sendiri (S.A. Ashraf, 1985 : 162).
Berbagai bentuk sistem pendidikan Islam di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak menunjukkan kemajuan, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun untuk pembentukan pribadi anak didik yang nantinya siap untuk terjun ke lapangan kerja. Gejala pertama ditandai dengan makin mandulnya studi keislaman di negara-negara Islam atau yang berpenduduk mayoritas Islam, bahkan studi keislaman sudah bergeser ke Barat, Karena di negara-negara Islam sendiri studi keislaman konversional sudah tidak mampu berpacu dengan perkembangan metodologi keilmuan pada umumnya.
Umat Islam di berbagai belahan dunia tidak begitu tertarik lagi mempelajari Islam (Islamic Studies) di negara-negara Islam, melainkan berbondong-bondong ke universitas-universitas di Barat. Adopsi metodologi ilmiah dan Barat, tentu mempunyai implikasi yang tidak kecil, paling tidak Islam diperlakukan sebagai salah satu gejala budaya yang menjadi bidang garapan ilmu-ilmu sosial dan bahkan jika kurang hati-hati dapat melahirkan ilmuan muslim sekuler (Ahmad Syafii Maarif, et.al., 1991 : 110).
Inilah realitas yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Umat Islam jauh tertinggal di belakang dalam percaturan perkembangan ilmu dan tekonologi. Sementara itu, penerapan dan pembinaan pendidikan yang kurang terencana secara baik menyebabkan lulusannya tidak memiliki keterampilan yang sepadan dengan kebutuhan lapangan kerja.
Mendinamisasikan dan Rekonstruksi Pendidikan Islam
Uraian di atas, walaupun tidak terinci sudah dapat menyajikan suatu telaah umum yang sangat dini tentang realitas pendidikan Islam dalam era transformasi sosial budaya dewasa ini, berkembang pesat di Indonesia. Dalam proses transformasi sosial budaya ini ternyata berbagai pranatanya juga terpengaruh, karena harus melakukan adaptasi besar-besaran, bukan sekedar modifikasi namun dalam hal harus direkonstruksi atau reorientasi.
Di samping itu memang harus diakui bahwa lembaga pendidikan Islam belum mempunyai kesiapan untuk “mengadakan dialog” dengan dunia yang ada di luar dirinya, karena institusi pendidikan ini belum mampu menuntaskan mekanisme institusionalnya untuk menyangga modernisasi di segala segi kehidupan. Dengan kata lain, kehadiran lembaga pendidikan Islam dalam era modern, Indonesia cenderung berjalan apa adanya, termasuk IAIN (salah satu kritik tajam lihat M. Rusli Karim “Responsi Cendekiawan Muslim Terhadap Tuntutan Masyarakat Modern di Indonesia” dalam (M. Amin Rais, 1986 : 62).
Kenyataan seperti di atas, semakin mempersulit lembaga pendidikan Islam untuk melakukan terobosan-terobosan baru di masa yang akan datang, karena ia akan selalu mengalami kesulitan beradaptasi dengan setiap perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional.
Upaya mendinamisasikan pendidikan Islam harus dikaitkan dengan konteks sosio-kultural yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam mengacu ke masa depan, beberapa hal berikut ini dapat menjadi pertimbangan :
a.       Pada tataran filosofis, perlu redefinisi teologi pendidikan Islam, terutama dalam konteks mendekatkan aspek normatif ilmu pengetahuan dengan dimensi teologi.
b.      Corak manusia yang bagaimana dipandang relevan dengan tuntutan perkembangan zaman: Manusia sekedar budak Iptek, atau yang steril dari nur Ilahi, atau yang apriori terhadap ilmu atau manusia yang paripurna.
c.       Jenis program pendidikan yang bagaimana yang akan dipilih? Program pendidikan formal yang kaku atau multi program yang luntur sehingga mudah untuk direnovasi.
d.      Pemihakan pendidikan Islam, apakah dengan tetap membiarkan proses sosial yang mengarah pada defrensiasi sehingga kesenjangan sosial tetap berlangsung atau sebaliknya.
e.       Konsentrasi pendidikan, apakah dengan mempertahankan pola yang ada;  sistem pesantren, madrasah dan Universitas Islam Vesus (IAIN), ataukah dengan memulai modus baru yang dianggap akan lebih relevan atau cukup dengan modul Islamic Studies yang ada di dunia Barat (Syafii Maarif : 137).
Demikian halnya, upaya rekonstruksi pendidikan Islam harus mendapat perhatian besar. Diperlukan keberanian intelektual untuk merumuskan ulang pola pendidikan Islam, baik yang menyangkut materi maupun metodologi. Untuk menuju ke arah tersebut ada beberapa hal yang patut dikerja bersama:
v     Mahasiswa dan anak didik yang selama ini hanya diberikan kuliah tentang ilmu-ilmu keislaman klasik, sudah saatnya diperkenalkan dengan persoalan-persoalan “modern” yang amat kompleks yang dihadapi oleh umat Islam sekarang ini dalam hidup kesehariannya. Pendekatan-pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang berkembang era sekarang juga perlu diperkenalkan pada mahasiswa dan anak didik pada umumnya.
v     Pengajaran yang dulunya hanya bertumpu pada nash seperti yang banyak dijumpai dalam buku-buku teks dan mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, perlu diimbangi dengan telaah yang cukup mendalam dan cerdas terhadap konteks-konteks dan realitas. Mengingat bahwa nash adalah terbatas, sedang kejadian-kejadian yang dialami oleh umat manusia selalu berkembang. Untuk itu, diperlukan ilmu-ilmu bantu yang diambil dari psikologi, sosilogi, ekonomi, politik, sejarah, filsafat, fisika, bio-teknologi begitu seterusnya untuk menjelaskan hakikat, visi dan misi agama Islam yang fundamental.
v     Pengajaran ilmu-ilmu keislaman tidak seharusnya bersifat ”doktrinal” melulu, tetapi perlu dikedepankan uraian tentang dimensi historitas dari pada doktrin-doktrin keagamaan tersebut. Dengan begitu dimungkinkan telaah kritis apresiatif-konstruktif  terhadap khasanah intelektual Islam klasik dan sekaligus memberi peluang dan kesempatan melatih peserta anak didik untuk merumuskan ulang pokok-pokok rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman dan bagaimana mereka dapat mencari jalan keluar (solusi) sesuai dengan nilai-nilai keagamaan Islam yang mereka yakini.
v     Dalam era pluralitas, iman semakinmencuat dan menguat, diskursus dan telaah secara akademik-filosofis terhadap khasanah intelektual Islam klasik, khususnya tasauf (baca buku tarekat) sangat diperlukan untuk mengimbangi telaah yang bersifat doktrinal dari cabang keilmuan kalam.
v     Pendidikan agama islam era modernitas tidak lagi memadai jika hanya terpokus pada pembentukan moralitas individual yang saleh, namun kurang begitu peka terhadap moralitas publik. Sedang moralitas publik sangat terkait dengan realitas struktur sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya yang mempunyai logika kepentingan sendiri-sendiri (M. Amin Abdullah, 1997 : 15).
v     Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa akar terdalam problematika pendidikan Islam, tampaknya singkron dengan keberadaan umat Islam dalam dunia modern. Apa artinya kehadiran Islam sebagai agama pembebas manusia, rupanya menjadi awal dan muara semua problem keislaman. Jika umat Islam mampu merumuskan persoalan filosofis ini, barangkali pendidikan Islam dapat dicarikan terapinya yang tepat.

BAB XII
ALIRAN-ALIRAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM
dmf
A.    Dasar-dasar Sosio Psikologis

Pendidikan merupakan usaha dan upaya untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan manusia secara positif dan efektif dengan menciptakan berbagai kondisi dan situasi lingkungan dan pengalaman. Daya tumbuh dan berkembang yang masih potensial, immanent atau laten baik jasmani maupun ruhani mendapatkan pengaruh, rangsangan atau aktualisasi dari lingkungan dan pengalaman individu. Sejauhmanah interaksi dan interdependensi atau dominasi antara potensi immanental dengan pengalaman atau lingkungan yang aktual dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, telah menimbulkan berbagai pendapat atau aliran dalam pendidikan antara lain:
1.          Aliran pedagogische optimisme, indeteminisme, empirisme dengan tokohnya John Locke berpendapat bahwa faktor pengalaman dan lingkungan atau faktor ekstern lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu, sedangkan faktor potensi immanental atau faktor intern termasuk bakat dan pembawaan (heritage, heredity, inheritance) tunduk pada faktor ekstern, dengan kata lain pendidikan merupakan faktor dominan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu.
2.                            Aliran pedagogisce pessimisme, determinisme atau nativisme dengan tokohnya Schopenhauer berpendapat bahwa faktor intern atau heredity, heritage atau inheritance sangat dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu sedangkan faktor lingkungan, pengalaman danpendidikan kurang berpengaruh. Faktor ekstern ini, khususnya lingkungan dan dan pendidikan hanyalah sekedar memberi baju sementara kepada individu.
3.                            Aliran convergensi dikemukakan oleh William Stern. Ia mencoba mempertemukan dua aliran yang ekstrim antara aliran nativisme dengan enpirisme denganmengatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu adalah hasil (resultante), interaksi, interplay atau kerja sama antara faktor intern dengan faktor ekstern antara bakat dan pengalaman.
4.                            Aliran fenomenologisme dipelopori oleh tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme yang memandang manusia sebagai antropologia empiriko fenomenologika. Aliran ini adalah aliran optimisme moderat yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan individu bukan saja didominasi oleh faktor intern atau dasar, atau oleh faktor ekstern atau lingkungan sekitar atau kerja sama (resultante), interaksi, keduanya, tetapi juga faktor ajar (pemberian pengalaman yang direncanakan) turut menentukan bahkan dominan di dalamnya. Disebutkan aliran optimisme moderat, karena sebagai pendidik hanya mampu memberikan “ajar” sedangkan kondisi “sekitar” dan “dasar” harus diwaspadai karena kedua faktor terakhir ini di luar jangkauan kemampuan pendidik.
5.                            Jika didekati secara Islami, maka tampaknya aliran keempat (fenomenologis, eksistensialisme) lebih sesuai dengan Islam, karena Islam mengakui adanya faktor “fitrah” intern khususnya faktor “qadha” yang turut menentukan pertumbuhan dan perkembangan individu.
B.      Dasar Filosofis
Dipandang dari subjek-objek isi dan kegiatan mendidik, aliran=filsafat mempengaruhi timbulnya aliran pendidikan sebagai berikut:
1.      Aliran Humanisme klasik yang lebih menitikberatkan pendidikan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia secara umum dengan pengetahuan bahasa klasik yang verbal. Tokoh-tokoh aliran ini berpendapat bahwa manusia yang bermartabat, berpengetahuan adalah manusia yang menguasai bahasa. (verbal/bicara)
2.      Aliran realisme (+ 1600) reaksi terhadap aliran humanisme klasik dan verbal, yang mendasarkan diri pada alam nyata dan mengutamakan pengalaman (eksperimen). Para tokoh realisme ini berpendapat bahwa:
v     Usaha untuk memperoleh pengetahuan bukan hanya dengan bahasa klasik verbal, tetapi harus melalui pengetahuan yang mendalam pada ilmu bumi, sejarah, dan ilmu alam.
v     Pengajaran harus menggunakan metode induktif dengan mengutamakan    pengalaman, pengamatan dan penginderaan.
Timbulnya aliran realisme ini disebabkan antara lain:
v     Merosotnya sistem humanisme sendiri.
v     Pesatnya ilmu pengetahuan alam yang dipelopori oleh Kepler, Galilei, dengan penggunaan metode-metode baru yang dipelopori oleh Francis Bacon, Rene Descartes, J.A. Comenius yang terkenal dengan “Didactika Magna”nya berisi 4 hukum didaktik :
v     Kepastian
v     Urutan yang tepat
v     Kemudahan
v     Kebijakan, kebijaksanaan, kebenarann dan keadilantermasuk rencana susunan organisasi sekolah (Abdurrahman, 1988 : 29).

3.   Aliran rationalisme (abad 18) berpendapat bahwa akal atau ratio merupakan sumber kebenaran (aliran kejiwaan). Tokoh-tokoh aliran ini antara lain, John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pendidikan jasmani, pendidikan kesusilaan dan ketuhanan baik di rumah maupun di sekolah adalah untuk menguasai diri sendiri (pembentukan kepribadian) dan membangkitkan rasa harga diri dan kepatuhan. Tujuan pendidikannya adalah menjadikan anak yang baik dan berguna serta hidup dalam suasana kebahagiaan.
4.       Aliran pendidikan Philantropisme (Rationalisme Aufklarung) suatu aliran yang sangat menonjolkan kemampuan akal manusia, cenderung membebaskan manusia dari segala ikatan kepercayaan (agama) dengan tujuan membentuk manusia yang bahagia.
Pengaruh John Locke (empirisme) dan Jean Jacuas Rousseau tampak pada prinsip-prinsip pendidikannya antara lain :
a.   Memperhatikan pendidikan jasmani,
b.   Mengutamakan peragaan dan pengalaman,
c.   Menginginkan pendidikan kesusilaan dan kebajikan,
d.   Kecerdasanpada agama alam
e. Memperhatikan perkembangan yang wajar dari anak (Abdurrahman : 31).
Tokoh utama aliran ini adalah Basedow dan Cristian-Cetthilf Salzmann.
5.      Aliran Pendidikan Sosial
Salah seorang tokoh utama aliran ini ialah Johann-Heinrich Pestalozzi (Swiss), menghendaki adanya perbaikan kehidupan masyarakat melalui pendidikan individualdi bawah asuhan orang tua ataukeluarga. Anak-anak dari rakyat jelata harus diberi hak dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di sekolah. Pendidikannya didasarkan atas kodrat anak itu sendiri dengan tujuan mengembangkan segala daya dan kemampuan yang ada pada anak itu sendiri. Tujuan pendidikannya ialah terbentuknya manusia sejati. Tugas pendidik ialah menolong anak untuk menolong dirinya sendiri “Hilfe zur Selbst hilfe”. Asas didaktik Pestalozzi didasarkan atas dasar pengamatan melalui peragaan dan latihan, karena itu Pestalozzi digelar “bapak peragaan”.
6.   Aliran pendidikan abad ke 19 disponsori oleh Friedrich Herbart (Jerman) yang menganut aliran intelektualisme. Pendidikannya didasarkan atas filsafat dan ilmu jiwa dengan tujuan akhir manusia susila melalui ajaran keluhuran budi. Alat pendidikannya ketertiban, siasat dan pengajaran. Ia terus berusaha membangun sistem pendidikan yang berdasarkan pengetahuan yang mendalam. Dalam ajaran keluhuran Budha termuat lima cinta yaitu kemerdekaan batin, kesempurnaan, kerelaan, hak dan keadilan.
Fredrich Frobel (Jerman) juga salah seorang tokoh pendidikan abad 19 berpendapat bahwa anak adalah suatu organisme yang tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri dari dalam, karena itu pendidikan harus membantu pertumbuhan dan perkembangan anak itu dengan melibatkan mereka itu dalam kegiatan bekerja sendiri (autoaktivitas). Permainan adalah salah satu alat pendidikan yang dapat memberikan pada anak yang memungkinkan dia bertumbuh dan berkembang secara wajar.
7. Aliran pendidikan abad ke 20, ditandai dengan munculnya pertentangan antara : Pendidikan individual versus pendidikan sosial dan pendidikan normatif versus pendidikan deskriptif (Abdurrahman:32).
a-1. Aliran pendidikan individual memandang manusia (anak didik) sebagai perseorangan yang perlu dididik dan dikembangkan, karena hanya individulah yang memiliki hidup kejiwaan, kesadaran dan tanggung jawab dan beragama dengan segala aspek perbedaannya. Tujuan pendidikannya adalah terbentuknya manusia yang harmonis (selaras, serasi dan seimbang) pada aspek agamanya, pengetahuannya, kesusilaan dan kemasyarakatannya.
a-2. Aliran pendidikan sosial meletakkan pusat perhatian pada masyarakat keseluruhannya sebagai suatu nilai tertinggi.
Individu hanyalah merupakan atom-atom atau sel-sel yang membangun organisme masyarakat. Individu tidak mempunyai kemauan sendiri, kehidupan, pikiran harta dan tujuan sendiri, semuanya tunduk pada kehidupan masyarakat. Individu hidup dari, oleh dan untuk masyarakat, karena itu isi dan tujuan dari aliran ini ialah pendidikan kewargaan negara, nasional, sosial dan kemanusiaan dengan tujuan terbentuknya warga masyarakat yang menyadari sepenuhnya tugas, kewajiban, hak dan tanggung jawab sosialnya.
b-1. Aliran pendidikan normatif berpendapat bahwa pendidikan harus berdasar atau bertujuan pada norma-norma atau kaidah-kaidah filsafat dan agama yang merupakan norma yang tetap, tidak berubah,  absolut dan universal. Pendidikan harus membimbing danmengarahkan anak didik untuk menerima dan melestarikan norma agama dan filsafat, dengan demikian maka tujuan pendidikannya adalah membentuk manusia yang taat, setia, patuh dan pendukung norma kehidupan yang bersumber dari agama dan filsafat.
b-2. Pendidikan deskriptif tidak menetapkan bagaimana                                                      seharusnya seperti pendidikan normatif, tetapi aliran ini berpendapat bahwa pendidikan dilaksanakan sebagaimana adanya. Pendidikan tidak boleh memaksakan suatu norma, tetapi pendidikan harus memberi kebebasan kepada anak didik untuk membentuk dirinya sendiri melalui pengalamannya sendiri. Para penganut aliran ini berusaha untuk menjadikan pendidikan sebagai suatu ilmu pengetahuan pengalaman atau pendidikan eksperimental, dan menganut prinsip atau menganut ajaran positivistis dengan asas naturalistis (suatu ajaran yang menganggap manusia adalah hasil dari dan bahagian dari kekuatan alam, karena itu manusia hanya tunduk kepada hukum alam saja).
BAB XIII
PENDIDIDIKAN ISLAM DI ZAMAN RASUL
SAHABAT, BANI UMAYYAH DAN BANI ABBAS
<r<
A.       Pendidikan Islam di Zaman Rasul
Sebelum Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul yakni melakukan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas itu dengan sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan budayanya. Dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat lingkungannya. Akan tetapi tidak larut sama sekali di dalamnya (Zuhairini, et.al., 1992:18). Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus masyarakatnya.
Bentuk pelaksanaan pendidikan semenjak Muhammad diangkat menjadi Rasul di Mekah, beliau sendiri yang menjadi gurunya. Pendidikan pada masa ini merupakan prototype yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya.
Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi umatnya, memperbaiki keadaan dan situasi budaya masyarakatnya serta menyempurnakan akhlak, agar terwujud nyata kebenaran yang didapatkannya (Zuhairini : 20).
Nabi Muhammad saw. dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, beliau menerima petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Allah tentang apa dan bagaimana berbuat untuk melaksanakan tugasnya tersebut. Petunjuk dan instruksi tersebut terdapat dalam Alquran (Q.S.96 : 1-5). Selanjutnya turun pula wahyu yang kedua yaitu:
يَأَيُّهَا اْلمُدَّثِّـرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبُّكَ فَكَبِّرُ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ وَلاَ تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ
Artinya :
Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Tuhanmu Agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah (Q.S.74 : 1-7).
Dari ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah diberi tugas oleh Allah Swt. supaya bersegera memberi peringatan  dan pengajaran kepada kaumnya sebagai tugas suci, tugas mendidik dan mengajarkan agama Islam, agar umatnya tidak jauh dari kebenaran.
Pendidikan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. di Mekah melalui dua tahap, yaitu tahap perseorangan yang berakhir lebih kurang tiga tahun pertama dalam misinya, dan tahap yang terbuka secara umum kepada masyarakat yang berakhir hingga meninggalkan Mekah dan hijrah ke Madinah (Zakaria Bashier, 1994:101).
Tahap pertama ditandai dengan penyampaian pesan Islam secara rahasia, hati-hati dan waspada dalam memilih individu-individu yang didekati dan diajak untuk masuk Islam. Pada tahap ini pelajaran agama diberikan di rumah-rumah dan digunakan rumah Arqam bin Abi al-Arqam sebagai tempat pertemuan dengan para sahabat, dan beliau mengajarkan kaidah-kaidah Islam dan membacakan ayat-ayat Alquran, selain itu beliau juga mengadakan pertemuan di rumahnya di Mekah, di situlah kaum muslimin berkumpul untuk belajar dan membersihkan akidah mereka (Muhammad Athiyah al-Abrasyi, 1962:51).
Tahap kedua yang dilakukan oleh Nabi secara terbuka dan diperuntukkan kepada khalayak ramai. Beliau berpidato di tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang terutama di musim haji. Ketika itu banyak orang dari suku-suku bangsa Arab datang berkunjung ke kota Mekah. Selain itu beliau juga melakukan pendidikan di tempat-tempat tertentu seperti di langgar atau pondok (kuttab). Langgar atau pondok sebelum Islam merupakan tempat belajar menulis dan membaca semata-mata dan setelah datangnya Islam, fungsinya semakin meluas menjadi tempat menghapal ayat-ayat Alquran dan pelajaran agama Islam (al-Abrasyi : 53).
Adapun materi pelajaran yang paling menonjol pada periode Mekah adalah materi keagamaan atau ketauhidan dan pengajaran Alquran. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
1.       Pendidikan tauhid dalam teori dan praktek
Secara teori, materi pendidikan tauhid telah tercermin dalam beberapa ayat Alquran, ayat Alquran yang memuat materi tentang ajaran tauhid misalnya dalam surah al-Fatihah, pokok-pokoknya sebagai berikut :
Pencipta dan pengatur alam semesta adalah Allah Swt. Oleh karena itu pujian dan syukuran harus disampaikan kepada-Nya.
Allahlah yang telah menyempurnakan segala nikmat, serta telah mencukupi semua kebutuhan hidup makhluk. Allah adalah Raja di hari kemudian, sehingga semua nikmat yang telah diberikan kepada makhluk akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya di hari kemudian. Allahlah Dzat yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Allahlah yang dapat membimbing dan memberikan petunjuk ke jalan yang lurus (Zuhairini : 24-25).
Itulah intisari ajaran tauhid yang terdapat dalam surah al-Fatihah yang dibawa oleh Muhammad saw. untuk diajarkan kepada umatnya.
2.         Pengajaran Alquran di Mekah
Cara Nabi Muhammad saw. mengajarkan Alquran di Mekah pada tahap awal secara sembunyi-sembunyi, para sahabat mempelajari Alquran di rumah Arqam bin Abi al-Arqam, mereka berkumpul membaca  Alquran, memahami kandungan setiap ayat yang diturunkan Allah dengan cara bermudarasah dan tadarrus (Zuhairini : 29).
Jika ditelusuri keberhasilan Rasulullah saw., terutama dalam mengajarkan Alquran, diperoleh beberapa faktor pendukung yaitu:
1.      Bangsa Arab pada masa itu, umumnya masih ummi, meskipun telah ada beberapa orang yang pandai baca tulis, tetapi jumlahnya masih sedikit.
2.      Di antaranya; Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan sederetan sahabat-sahabat yang lain. Mereka memiliki potensi yang cukup besar bagi pengembangan pengajaran Alquran pada masa itu.
3.      Tradisi bangsa Arab adalah budaya lisan, warisan budaya mereka diwariskan pula secara lisan, sehingga mereka terkenal dengan kekuatan hapalannya.
4.      Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur, sehingga lebih memudahkan baginya untuk mengajarkan Alquran kepada umatnya (Zuhairini : 28-29).
Dari uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad saw. mengajarkan tauhid dan Alquran kepada umatnya, agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya yang selanjutnya akan menjadi warisan ajaran secara turun temurun dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.
B. Pendidikan Islam Pada Zaman Sahabat
1.      Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab
Dalam Sejarah Pendidikan Islam dikenal bahwa sejak Nabi Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul sejak itu pula pendidikan Islam terlaksana dan beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan pada masa Rasulullah merupakan prototype yang terus menerus dikembangkan untuk kepentingan umat Islam pada zamannya (Soekarno & Ahmad Sukardi, 1990:25).
Seperti halnya pada masa awal kekhalifahan Abu Bakar meskipun telah diguncang pemberontakan oleh orang-orang murtad, namun hal tersebut telah memberikan pengalaman bagi umat Islam untuk memperteguh ajaran-ajaran Islam, di samping itu pula memperteguh pendidikan Islam untuk memperkokoh nilai-nilai Islam di kalangan kaum muslimin sendiri, walaupun dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam dalam hal pelaksanaannya ketika itu tidak jauh berbeda dengan pendidikan yang ada pada zaman Nabi, baik dari segi materi maupun dari lembaga pendidikan.
Namun setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khattab sudah ada perkembangan. Hal itu disebabkan karena kondisi politik pada masa khalifah Umar sudah mulai stabil sehingga ia berhasil memperluas wilayah Islam. Jadi khalifah Umar di samping ia memikirkan tentang perluasan daerah, juga ia memberikan perhatian terhadap aspek pendidikan demi syiarnya agama dan kokohnya negara Islam (Hanun Asrahah, 1999 : 16).
Adapun tujuan pendidikan Islam pada masa Nabi danKhulafa al-Rasyidin hanya satu saja yaitu keagamaan semata-mata, belajar dan mengajar karena Allah untuk mendapatkan keridaan-Nya (Mahmud Yunus, 1990 : 46).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas sehingga pendidikan tidak lagi terpusat di Medinah. Akan tetapi telah tersebar pula di berbagai kota besar lainnya seperti, Kota Mekah dan Madinah (Hijaz), kota Bashrah dan Kufah (Iraq), kota Damsyik (Syam), kota Fistat (Mesir) (Mahmud Yunus : 33).
Pusat atau lembaga pendidikan yang ada adalah :
a)      Madrasah Mekah
Guru pertama yang mengajar di Mekah setelah penduduk Mekah takluk adalah Mu’az bin Jabal. Beliaulah yang mengajarkan Alquran dan masalah-masalah agama.
b)      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyhur dan lebih dalam ilmunya, karena di sanalah tempat khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman dan sebahagian sahabat Nabi lainnya. Ulama yang termasyhur di Madinah adalah Umar, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Zaid adalah ahli qira’at dan ahli fiqih terutama ilmu fara’id. Abdullah ibn Umar adalah ahli hadis, ia mengumpulkan hadis-hadis serta menulisnya kemudian meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada murid-muridnya.
c)      Madrasah Bashrah
Ulama dari kalangan sahabat yang termasyhur di Bashrah adalah Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa al-Asy’ari adalah ahli fiqih dan ahli hadis dan juga Alquran. Sedangkan Anas bin Malik lebih terkenal di bidang hadis.
d)          Madrasah Kufah
Ulama dari kalangan sahabat yang tinggal di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib dan Abdullah ibn Mas’ud. Ali memasuki dunia politik dan urusan peperangan. Sedangkan ibn Mas’ud mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama. Ibnu Mas’ud diutus oleh khalifah Umar ke Kufah untuk menjadi guru. Ia ahli di bidang tafsir dan fiqih bahkan ia juga termasuk periwayat hadis.
e)      Madrasah Damsyik
Setelah negeri Syam (Syiria) ditaklukkan menjadi negara Islam. Umar bin al-Khattab mengirim tiga orang guru agama ke negeri tersebut, yaitu Mu’az bin Jabal, Ubadah dan Abu Dardak. Ketiga guru itu mendirikan madrasah di Syam. Mereka mengajarkan Alquran dan ilmu-ilmu agama di Syam pada tiga tempat yaitu Abu Dardak di Damsyik, Mu’az bin Jabal di Palestina, dan Ubadah di Hims.
f)        Madrasah Fistat (Mesir)
Setelah Mesir menjadi negara Islam, maka ia menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Adapun ulama yang mula-mula mendirikan madrasah di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Ash di Fistat (Mesir lama). Ia termasuk salah seorang penghapal, pencatat dan periwayat hadis (Mahmud Yunus : 34-37).
2.       Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Telah diketahui bahwa pendidikan Islam tidak  dapat dipisahkan dengan sejarah. Awal munculnya pendidikan Islam sangat terkait dan dilatarbelakangi oleh beberapa periodisasi. Salahsatu periodisasi di antaranya adalah periode khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib (632-661 M) di Madinah (Zuhairini, 1997 : 7).
Secara khusus, belum diketemukan dari berbagai refrensi yang membahas tentang keadaan pendidikan baik pada masa Usman bin Affan maupun pada masa Ali bin Abi Thalib secara mendetail. Kecuali secara umum sekilas lintas dapat diperoleh dari berbagai buku tentang sejarah pendidikan Islam.
Sebenarnya pada periode khulafa’ al-Rasyidin, khususnya pada masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib telah ada tingkat pengajaran hampir sama seperti masa sekarang. Setelah anak-anak tamat Alquran mereka meneruskan pelajarannya di Masjid. Pelajaran di masjid terdiri dari tingkat menengah. Namun gurunya belum dikategorikan sebagai ulama besar. Setelah tingkat tinggi gurunya sudah ulama yang dalam ilmunya dan masyhur kealiman dan kesalehannya.
A.       Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Umayyah
Secara garis besar Harun Nasution membagi sejarah Islam kedalam 3 periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern (Harun Nasution, 1975 : 11). Kemudian perinciannya dapat dibagi menjadi 5 masa, yaitu: 1) Masa Rasulullah saw. (571-632 M.), 2) Masa Khulafa’ al-Rasyidin (632-661 M.), 3) Masa Bani Umayyah (661-750 M.), 4) masa Bani Abbasiyah (1250- sekarang).
Pembagian 5 masa di atas dalam kaitannya dengan pendidikan Islam dianggap sangat signifikan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam. Hal tersebut akan terlihat lebih jelas dengan memperhatikan periode-periode sejak awal perkembangannya hingga masa sekarang.
Zuhairini dkk., dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam, menyebutkan 5 periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
1)         Periode pembinaan pendidikan Islam (berlangsung semasa hidupnya Muhammad saw.).
2)         Periode pertumbuhan, berlangsung sejak wafatnya Nabi sampai akhir kekuasaan Bani Umayyah.
3)      Periode kejayaan (puncak perkembangan) dimulai sejak permulaan Daulah Bani Abbasiyah hingga jatuhnya Bagdad.
4)        Periode kemunduran dimulai sejak jatuhnya Bagdad dan jatuhnya Mesirr ke tangan Napoleon (ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat.
5)         Periode pembaharuan pendidikan Islam, sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon hingga sekarang (ditandai dengan adanya gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam) (Zuhairini, dkk., 1997 : 2).
Dari beberapa periode yang tergambar di atas dapat dipahami bahwa pembahasan menyangkut pendidikan di masa Bani Umayyah berada pada periode pertumbuhan pendidikan Islam. Itulah sebabnya sehingga Philip K. Hitti menyebut Daulah Bani Umayyah sebagai “Inkubasi” atau masa tunas bagi perkembangan intelektual Islam (Philip K. Hitti, 1994 : 242).
Perlu diketahui bahwa Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad (selama 90 tahun) dengan 14 orang khalifah, dimulai oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan (sebagai pendidiri Dinasti Umayyah) dan ditutup oleh Marwan ibn Muhammad (Boswort CE., 1983 : 25).
Sejak Dinasti Umayyah berkuasa, pelaksanaan pendidikan Islam semakin meningkat dilaksanakan di rumah-rumah dan masjid, maka pada masa ini pendidikan juga telah dilaksanakan di istana untuk mendidik anak-anak keluarga raja. Selain itu penguasa Dinasti Umayyah sering mengadakan majlis-majlis ilmu dengan mengundang para pakar dari berbagai bidang ilmu. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa: Muawiyah kerapkali mengundang para ulama, sastrawan dan ahli sejarah untuk menghindari majlisnya, agar mereka membacakan dan menerangkan kepadanya sejarah bangsa Arab serta peperangan-peperangan mereka dengan masyhur, begitu juga sejarah raja-raja Persia dan sistem administrasi pemerintahannya serta bagaimana jalannya, pelbagai urusan dalam negara mereka (Ahmad Syalabi, 1978 : 67). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada umumnya majlis-majlis khalifah itu menjadi gelanggang munazharah-munazharah (diskusi-diskusi) ilmiah dan kesusastraan dengan tujuan berbakti kepada kecerdasan dan kebudayaan di samping untuk mengembara dan menenangkan pikiran. Usaha-usaha tersebut mendorong berkembangnya dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sastra (syair) dan menjadi latar belakang munculnya buku yang terkenal dalam sejarah yaitu: Akhbar al-Madin (buku tentang raja-raja dan sejarah orang-orang kuno) (Fayyaz Mahmud, 1960 : 94).
Pada masa ini pula mulai ada perhatian terhadap ilmu tafsir, hadis, fiqih dan ilmu kalam. Di bidang hadis, muncul seorang ulama besar hadis yaitu Hasan al-Basri. Di bidang fiqih muncul ibn Sihab al-Zuhri. Di bidang ilmu kalam dapat dilihat cikal bakal tumbuhnya teologi Islam yaitu Washil bin Atha yang dianggap sebagai pendiri aliran Mu’tazilah.
Selain itu, bahasa Arab juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, kecenderungan untuk memahami Alquran dan kebutuhan orang-orang yang ditaklukkan oleh Islam akan berbahasa Arab, serta banyaknya orang-orang Ajam (non Arab) menimbulkan dialog-dialog yang merusak bahasa Arab, mendorong umat Islam ketika itu untuk mempelajari dan mengembangkan bahasa Arab. Faktor-faktor ini menyebabkan besarnya tuntutan mempelajari bahasa Arab sehingga lahirlah ilmu bahasa Arab. Tokoh-tokohnya antara lain Abu al-Aswad al-Duali dan Sibawaih (Philip K. Hitti : 23).
Hal lain yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui ialah bahwa pada masa itu pengaruh Hellenisme. Istilah Hellenisme untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang ahli sejarah dari Jerman bernama, J.G. Draysen, Ia menggunakan istilah “Hellenisme” sebagai sebutan masa yang dianggapnya sebagai periode peralihan antara Yunani Kuno dan dunia Kristen (Nurcholis Madjid, 1995 : 233). Berbeda dengan Draysen beberapa ahli sejarah seperti Bernard Lewis dan Philip K. Hitti menggunakan istilah “Hellenisme” sebagai sebutan untuk adopsi peradaban Yunani, baik peradaban Yunani Kuno maupun peradaban Yunani pada masa sepeninggalnya Alexander Agung (Edward Mc. Mall Burns dan Philip Lee Ralf, 1963 : 246).
Usaha-usaha penerjemahan buku-buku Yunani sudah dilakukan, misalnya seorang ahli fisika beragama Yahudi bernama Masarjawaih telah menerjemahkan buku-buku kedokteran, astronomi dan kimia kedalam bahasa Arab (K. Hitti : 250). Namun demikian usaha penerjemahan tersebut tidak banyak dilakukan. Usaha ini dilanjutkan pada masa Dinasti Abbasiyah  dengan melakukan penerjemahan secara besar-besaran. Di samping itu perlu diingat bahwa perhatian terhadap pendidikan Islam masih sangat kecil dibanding pada masa Daulah Bani Abbasiyah. Kemajuantersebut telah melahirkan lahirnya karya-karya keilmuan di berbagai bidang.
Dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan, Di masa Daulah Bani Umayyah  terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umumm. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang diselenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan pembesar kerajaan. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan untuk memegang kendali pemerintahan. Kurikulum ini diatur bukan hanya oleh guru saja tetapi orang tua murid pun turut pula menentukannya. Karena padatnya rencana pelajaran bagi murid maka pendidikan agama yang diberikan tidak seluas dengan pendidikan lainnya. Sebab itu kebanyakan dari mereka tidak memiliki kemampuan untuk memberikan fatwa kepada rakyatnya.
Adapun pendidikan umum, diperuntukkan untuk rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw. yang bertanggung jawab terhadap kelancaran jalannya pendidikan ini adalah para ulama, mereka bekerja atas dasar kesadaran dan keinsafan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar pengangkatan danpenunjukan pemerintah. Jaminan hidup mereka ditanggung sendiri dengan mengerjakan pekerjaan lain di luar waktu mengajar, atau ada juga yang menerima sumbangan dari muridnya.
Kedua pola pendidikan tersebut di atas memiliki tujuan dan motivasi yang berbeda, yang pertama untuk melahirkan pemimpin pemerintahan. Sedangkan yang kedua untuk melahirkan insan-insan yang berpengetahuan agama. Dalam pada itu dalam deretan khalifah-khalifah Bani Umayyah terdapat beberapa orang alim seperti khalifah Umar ibn Abdul Azis (Sukarno dan Ahmad Supardi, 1990 : 74).
Walaupun perhatian terhadap pendidikan dan perkembangan pemikiran tidak sebesar pada masa Dinasti Abbasiyah. Usaha-usaha umat Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah dipandang cukup besar dan berpengaruh bagi perkembangan pendidikan pada masa sesudahnya. Gerakan-gerakan ilmiah yang dilakukan oleh Daulah Bani Umayyah merupakan upaya pengembangan pendidikan pada masa sebelumnya. Keberhasilan tersebut terwujud karena adanya faktor-faktor pendukung yang turut mewarnainya.
Faktor pendukung keberhasilan Daulah Bani Umayyah adalah: Mantapnya stabilitas sosial, politik dan ekonomi di samping tumbuhnya sikap umat Islam yang menghargai pengetahuan (Hanun Asrahah, 1999 : 24).
Di antara fakta sejarah yang dapat dilacak dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan di masa Dinasti Bani Umayyah adalah adanya masjid Qubbatus Sharah, yang didirikan oleh khalifah Abd. Malik (Khalifah V), arsitektur masjid ini diwarnai dengan kreasi keindahan dan keagungan seni Islam, kemudian khalifah al-Walid (khalifah VI) mendirikan pula masjid Agung Muawiyah di Damaskus. Masjid ini tergolong salah satu dari keajaiban dunia, khalifah Walid bin Abd.Malik telah mengeluarkan biaya hasil dari 7 tahun pajak negaranya dan pekerjaan pembuatan masjid ini memakan waktu 8 tahun. Ibnu Zubair sebagaimana dikutip oleh Athiyah al-Abrasyi telah berkunjung di Masjid ini dan menyaksikan adanya kegiatan berupa diskusi dan penyalinan buku-buku. Di samping itu orang-orang yang ditugaskan sebagai khatib di masjid ini (456 H.) pelajaran-pelajaran hadis dan ilmu-ilmu keislaman lainnya (Athiyah al-Abrasyi, 1993 : 61).
Dari kemajuan-kemajuan yang diraih oleh Dinasti Bani Umayyah memberi gambaran yang jelas kepada kita betapa besar andil yang diberikannya untuk kepentingan kemajuan umat pada umumnya dan pertumbuhan serta perkembangan pendidikan Islam pada khususnya. Kemajuan yang telah dicapainya telah mendapat pujian dari berbagai kalangan termasuk pakar sejarah. Hal tersebut terlihat pada statemen yang dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Dhuha al-Islam dikatakan bahwa: Seandainya Dinasti Bani Umayyah dapat melanjutkan kekuasaannya yang hilang direbut oleh Dinasti Bani Abbasiyah, niscaya Dinasti Bani Umayyah akan mampu mencapai kejayaan di bidang pemikiran seperti yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah karena pada masa Dinasti Umayyah telah muncul gerakan-gerakan ilmiah dan aliran-aliran keagamaan (Ahmad Amin, 1572 : 2).
B.       Pendidikan Islam Pada Masa Daulah Bani Abbasiyah
Pendidikan Islam pada zaman Daulah Bani Abbasiyah sebagaimana diketahui bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban atas tiap-tiap anak, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Menuntut ilmu bagi perlu bagi muslim laki-laki dan muslim perempuan”.
Pada masa Nabi saw. kaum perempuan tidak mau ketinggalan oleh kaum laki-laki dalam menuntut ilmu, sehingga mereka meminta kepada Nabi, supaya disediakan sehari dalam seminggu khusus untuk memberi pelajaran kepada mereka dengan tidak disertai oleh kaum laki-laki. Hal itu telah dilaksanakan oleh Nabi saw. (Mahmud Yunus, 1989 : 121).
Tetapi pada masa Abbasiyah anak-anak putri hanya belajar di rumah saja, diberi pelajaran oleh salah seorang karib kerabatnya ataua guru yang didatangkan ke rumah itu. Tidak diketemukan dalam sejarah, bahwa anak-anak putri pergi belajar ke kuttab dan ke masjid, sebagaimana anak-anak putra. Hanya yang dapat pergi ke kuttab anak-anak putri hamba sahaya (jariah).
Putri merdeka tidak diizinkan pergi ke kuttab atau masjid untuk belajar ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu putri-putri terpelajar sedikit sekali kalau dibandingkan dengan anak-anak putra dengan mudah pergi belajar ke kuttab, kemudian ke khalaqah di masjid dengan tak ada halangan apa-apa. Tetapi anak-anak putri tidak mendapat kebebasan keluar rumah untuk pergi belajar. Dengan demikian bagi anak-anak putri hanya ada satu kesempatan saja, yaitu belajar di rumah tangganya sendiri. Memang tidak semuanya  orang tua dapat mendatangkan guru ke rumahnya untuk mengajar  anak-anak putrinya.
Oleh sebab itu  putri terpelajar  sedikit sekali  dibandingkan dengan anak-anak putra. Meskipun begitu banyak juga kaum perempuan  yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan, sehingga tidak kalah oleh kaum laki-laki, bahkan ada juga  perempuan yang melebihi kaum laki-laki. Di bawah ini dapat  dilihat nama-nama kaum perempuan  yang termasyhur.
1.     Nafisah binti  al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali. Ia seorang ahli hadis (riwayat) di antara beberapa perempuan yang ahli hadis. Banyak ulama yang mujtahid hadir ke halaqahnya. Tatkala imam Syafi’i datang ke Mesir ia turut hadir ke halaqah Nafisah itu untuk mendengarkan hadis dari padanya.
2.     Syaikhah Syahdah.Ia memberi kuliah di masjid Bagdad dihadiri oleh pelajar-pelajar dan orang banyak. Bukan saja yang memberi kuliah dalam ilmu agama, bahkan juga dalam kesusastraan, balagah dan syair.
3.     Zainab binti Abdurrahman asy-Sya’ry. Ia seorang ulama besar, mendapat ijazah dari beberapa ulam, di antaranya dari Abul Qasim Zamakhsyari, pengarang al-Kasysyaf.
4.     Unaidah nenek Abil Khair Attinany. Ia seorang ulama yang mengajar. Duduk di hadapannya 500 pelajar laki-laki dan perempuan.
5.     Rabi’ah al-Adawiah.Ia ahli syair dan sastra,serta ahli tasauf yang sangat masyhur.
6.     Zubaidah,isteri ar-Rasyid. Ia ahli syair dan ahli pikir.
7.     Maryam binti Abi Ya’kub al-Anshary. Ia ahli sastra dan mengajarkan kesusastraan kepada wanita.
8.     Badanyah, maulah Abil Mutharraf, Abdur-Rahman bin Ghalbun. Ia ahli nahwu, lughah dan ‘arudh.
9.     Jamilah maulah Bani Salim. Ahli lagu, bahkan guru dari segala guru lagu. Berkata Ma’bad: Tokoh lagu ialah Jamilah dan cabangnya kami. Kami tak ada Jamilah, maka kami takkan menjadi tukang lagu.
10. Dananir, Maulah Yahya bin Khalid. Ia ahli lagu dan syair, bahkan ia mengarang kitab yang masyhur dalam al-Aghany (lagu-lagu).
11. ‘Aliyah binti al-Mahdy, saudari Harun al-Rasyid. Ia ahli lagu dan syair, mengalahkan jariah-jariah.
12.  Khadijah binti Khalifah al-Makmun. Ia ahli lagu yang terbaik.
13. Zainab tabibah Bani Aud. Ia dokter, mengetahui ilmu kedokteran dan obat-obatan.
14. Ummul Hasan binti al-Qadhi Abi Ja’far at-Thanjaly. Ia mengetahui bermacam-macam ilmu, terutama ilmu kedokteran.
15. Saudari al-Hafid bin Zahr dan anak putrinya. Keduanya ahli kedokteran dan obat-obatan, terutama mengobat wanita-wanita.
Selain itu ada juga wanita-wanita yang berpengaruh dalam soal politik dan mengendalikan pemerintahan, seperti Khaizuran istri khalifah al-Mahdy dan Zubaidah istri Harun ar-Rasyid. Tetapi Zubaidah lebih termasyhur sebagai seorang wanita yang berjiwa sosial.
         
BAB XIV
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
JwL

A.     Pendidikan Islam Pada Sekolah Umum
Pendidikan Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia tampak sekali terbedakan eksistensinya secara struktural. Tapi secara kuat ia telah berusaha untuk mengambil peran yang kompetitif dalam setting sosiologis bangsa, walaupun tetap saja tidak mampu menyamai pendidikan umum yang ada dengan otonomi dan dukungan yang lebih luas, dalam mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata.
Sebagai pendidikan yang berlebel agama, maka pendidikan Islam memiliki transmisi spiritual yang lebih nyata dalam proses pengajarannya dibanding dengan pendidikan umum, sekalipun lembaga ini juga memiliki muatan serupa. Kejelasannya terletak pada keinginan pendidikan Islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual, imajinasi dan keilmiahan, kultural serta kepribadian. Karena itulah pendidikan Islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab berusaha memadukan unsur profan dan immanent, di mana dengan pemaduan ini, akan membuka kemungkinan akan terwujudnya tujuan inti pendidikan Islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang (Ahmad D. Marimba, 1986 : 47-49; Muhaimin Abdul Mujib, 1993 : 153).
Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan, karena perkembangan masyarakat Islam, serta tuntutannya dalam membangun manusia seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna melalui proses pendidikan.  Proses pendidikan tidak hanya menggali dan mengembangkan sains, tetapi juga, dan lebih penting lagi yaitu dapat menemukan konsepsi baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga dapat membangun masyarakat Islam sesuai dengan keinginan dan kebutuhan yang diperlukan.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan dalam pendidikan haruslah berorientasi pada nilai-nilai Islami, yaitu ilmu pengetahuan yang bertolak dari metode ilmiah dan metode profetik. Ilmu pengetahuan tersebut bertujuan menemukan dan mengukur paradigma dan premis intelektual yang berorintasi pada nilai dan kebaktian dirinya pada pembaharuan dan pembangunan masyarakat, juga berpijak pada kebenaran yang merupakan sumber dari segala sumber (AM. Saefuddin, 1990:86).
Pendidikan Islam tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis empiris, intuitif dan materialistis. Keadaan yang demikian tidak mendukung tata kehidupan umat yang mampu melahirkan peradaban Islam. Dan memang di dalam Islam tidak mengenal adanya pemilihan dan perbedaan bahkan pemisahan antara ilmu pengetahuan yang bersifat umum dengan ilmu-ilmu agama. Sebagai contoh ketika Islam berada dalam masa keemasannya, di mana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, kita mengenal banyak tokoh yang ahli dalam berbagai hal. Ibnu Khaldun Misalnya, beliau di samping dikenal sebagai seorang ulama, juga dikenal seorang intelektual, filosof, dokter bahkan politikus.
Realitas membuktikan bahwa pendidikan agama (Islam) dan pendidikan umum selama ini sering diberikan batasan pengertian sebagai berikut:
1 Pendidikan agama yaitu penyelenggaraan pendidikan yang memberikan materi atau mata pelajaran agama, sedang pendidikan umum yaitu penyelenggaraan pendidikan yang memberikan materi atau mata pelajaran umum.
2. Pendidikan agama sebagai lembaga pendidikan pada madrasah atau sejenisnya, sedangkan pendidikan umum  seperti SD,SMP,SMA dan sejenisnya (Muwardi Sutedjo dkk., 1992 : 23).
Dari batasan yang dikemukakan tersebut, tampaknya memberikan kesan adanya dikotomi antara bidang studi agama dan bidang studi umum  atau adanya perbedaan yang jelas antara sekolah umum dengan sekolah agama.
Kenyataan tersebut  semakin tampak dengan keberadaan  departemen yang membina, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) atau Diknas sekarang. Untuk lembaga pendidikan umum, dan departemen agama (Depag) untuk lembaga pendidikan agama atau madrasah dan sejenisnya 
Karena itulah, dengan diundang-undangkannya  Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 2 tahun 1989, maka kerancuan pengertian selama ini telah diluruskan dengan penegasan batasan sebagai berikut:
1.         Pada  pasal 11 butir 2 disebutkan; Pendidikan umum merupakan  pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan.
2.         Pada pasal 11 butir 6 dinyatakan bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
3.         Pada pasal 39 ayat 2 disebutkan bahwa isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang wajib memuat: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sementara itu pada ayat 3 lebih dipertegas lagi, bahwa Pendidikan agama merupakan salah satu isi kurikulum pendidikan dasar sebagai bahan kajian dan pelajaran dari 13 bahan kajian dan pelajaran yang ditetapkan.
Dari beberapa uraian tersebut terlihat jelas bagaimana posisi pendidikan agama di sekolah umum, di mana pendidikan agama merupakan salah satu dari tiga mata pelajaran lagi yang diajarkan pada sekolah-sekolah.
Sebagai konsekuensi dari hal ini adalah terangkatnya status pendidikan agama tersebut dengan tidak dibedakan lagi dari pendidikan pada umumnya. Kalau dulu barangkali yang namanya guru agama di sekolah dasar atau yang di atasnya jangan bermimpi menjadi kepala sekolah, tapi sekarang peluangnya  adalah sama tergantung  bagaimana  aktivitas  dan kreativitas  guru agama  itu sendiri. Dengan demikian mata pelajaran pendidikan agama juga sudah saatnya dan memang sewajarnya memiliki fasilitas-fasilitas  penunjang yang lengkap seperti mushalla, langgar atau masjid. Sebagaimana terpenuhinya fasilitas-fasilitas mata pelajaran umum seperti IPA dan lain-lain.
Dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1990  tentang Pendidikan Dasar, pasal 1 disebutkan; Pendidikan Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya 9 tahun, diselenggarakan  selama 6 tahun di sekolah dasar atau SD dan 3 tahun SMP atau satuan pendidikan yang sederajat. Sedangkan pada pasal 3 ayat 3 disebutkan: SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan  oleh Departemen Agama masing-masing  disebut  Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
B.       Pendidikan Masa Kolonial
Sistem pendidikan masa kolonial merupakan warisan dari kolonial Belanda yang menekankan pada adanya dualisme dalam pendidikan, dengan perbedaan yang sangat tajam di antara pendidikan belanda dengan pendidikan pribumi. Walaupun pada masa pemerintah colonial Belanda banyak menyediakan sekolah bagi orang Inlander (sebagai sebutan orang Indonesia pada masa penjajahan kolonial Belanda yang identik dengan pribumi), namun semuanya itu dimaksudkan untuk memenuhi adanya keperluan dan kebutuhan masyarakat penjajah.
Sistem dualisme ini menjadi cirri yang dominant  dalam sistem pendidikan pada masa penjajahan kolonial. Ada sekolah yang berbeda untuk berbagai golongan rasial dan sosial. Sistem pendidikan terbagi dalam dua kategori yang jelas, yaitu sekolah Belanda dan sekolah pribumi, yang masing-masing memiliki kurikulum, bahasa pengantar, pengawasan, dan pembiayaan sendiri-sendiri yang berbeda. Dualisme ini juga terasa dalam system pendidikan yang membedakan strata social dari lapisan masyarakat yang turut menentukan jenis sekolah yang akan dimasukinya (Mukhtar, 2002 : 116).
Sekolah sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda tersebut, satu sama lain tidak memiliki kaitan sama sekali bahkan cenderungterpisah-pisah. Pendidikan bagi anak-anak Inlander semula hanya terbatas pada pendidikan rendah. Akan tetapi kemudian berkembang secara vertical, yang pada akhirnya anak Inlander, melalui pendidikan menengah tersebut, para anak Inlander (pribumi) dapat mencapai pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, meskipun ditempuh melalui jalan yang sulit dan sempit. Hal ini dapat kita lihat bahwa pada awalnya yang berhak memperoleh pendidikan hanyalah anak keturunan priyayi (keturunan ningrat).
Konsekuensi logis dari penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak Inlander (pribumi) ini tidak dapat dilepas dari tujuan-tujuan politik Belanda. Politik Belanda pada hakikatnya merupakan suatu bagian dari politik colonial sebagaimana dikutip S Nasution dari Brugmans yang menyatakan bahwa  politik pendidikan Belanda tersebut merupakan inti dari politik colonial. Sehingga luas dan jenis pendidikan yang disediakan oleh pemerintah Belanda bagi anak-anak Inlander (pribumi) lebih banyak dipengaruhi oleh adanya pertimbangan ekonomis.
Dengan adanya motivasi Belanda untuk melancarkan misi dagangnya, yang didorong oleh hasratuntuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, maka Belanda melancarkan misi politik pendidikannya, dengan hanya memberikan kesempatan bagi Inlander (pribumi) untuk mengenyam pendidikan rendah saja, sedangkan bagi anak-anak Belanda sendiri memiliki sekolah khusus, yang sulit bahkan hamper tidak mungkin untuk dimasuki oleh anak-anak Inlander (pribumi).
1.     Sistem Pendidikan bagi Anak Indonesia
Ide-ide liberal yang diterapkan bagi anak-anak belanda dengan memberikan sarana dan prasarana pendidikan secukupnya, tidak diberikan bagi anak-anak Inlander, bahkan diikat oleh sejumlah peraturan yang lebih mendiskreditkan bagi anak-anak Inlander dan menguntungkan bagi anak-anak Belanda, hal ini dapat dilihat dari adanya pemberlakuan statuta tahun 1818 antara lain berbunyi: Pemerintah hendaknya membuat peraturan yang diperlukan mengenai sekolah-sekolah bagi anak bumi putra. Pemerintah memberi kesempatan bagi anak bumi putra untuk mendapatkan mendapatkan pendidikan pada sekolah Belanda.
Di dalam statuta ini, kelihatannya bahwa meskipun ada berisi kesempatan bagi anak bumiputra (sebutan lain bagi anak bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda) untuk mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda, kelihatan bahwa pemerintah Belanda tidak berkewajiban untuk menyediakan sekolah bagi bumi putra, tetapi justru kewajibannya adalah haknya sebatas membuat peraturan.
Konsekuensi dari penerapan statuta ini, memberikan penekanan bagi anak Inlander (pribumi) untuk hanya menikmati pendidikan rendah saja,meskipun secara tidak tegas,karena paling tidak terikat oleh politik etis Belanda untuk memancing daya tarik bagi para penguasa pribumi seperti bupati, demang, dan lain sebagainya.
Konsekuensi lain , selama kurang lebih 50 tahun dari abad ke 18, pemerintah Belanda tidak menyediakan sedikitpun sekolah bagi anak Inlander (pribumi). Alasannya, Belanda menghormati bumi putra serta lembaga-lembaga mereka dengan membiarkan  penduduk di bawah bimbingan pemimpin mereka, di samping karena Belanda mengalami kesulitan finansial yang berat yang dihadapi oleh Belanda sebagai akibat perang  Diponegoro (1825-1830), dan perang antara Belanda dengan Belgia (1830-1839).
Sebagai konsekuensi berikutnya, menyebabkan Belanda meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan oleh Van den Bosch untuk memproleh keuntungan besar yang dikenal dengan culturstelsel atau Tanam Paksa.
Pada masa politik Tanam Paksa ini, tercatat bahwa pemerintah kolonial hanya sibuk membenahi penyelenggaraan sekolah bagi golongan Eropa saja. Namun  demikian sudah mulai ada pemikiran untuk memperhatikan pendidikan kaum pribumi. Walaupun hal ini tidak terlepas dari kebutuhan pemerintah kolonial untuk memperoleh tenaga kerja murah. Dengan demikian, di samping sekolah khusus untuk anak-anak Belanda, dibuka pula sekolah bagi pribumi yang hanya boleh diikuti oleh kaum priyayi.
Setelah politik Tanam Paksa dihapuskan dan diganti dengan masa politik liberal, penduduk Indonesia sudah mulai memperoleh keleluasaan untuk memperoleh pendidikan . Pemerintah Belanda membuka  dua jenis sekolah baru bagi para pribumi, yaitu Speciale School (sekolah istimewa) yang terbuka bagi orang-orang yang memiliki hubungan istimewa dengan pemerintah colonial Belanda, dan Hoof den school (sekolah menak) yang disediakan bagi para anak bupati untuk mengisi jabatan-jabatan administratif.
Namun karena hasil pendidikan anak pribumi dianggap kurang memuaskan. Maka, pemerintah kolonial Belanda mengadakan difrensiasi pendidikan bagi pendidikan pribumi, dengan membuka dua sekolah pribumi yaitu Sekolah Kelas Satu khusus untuk anak-anak orang terkemuka, dan Sekolah Kelas Dua yang terbuka bagi rakyat biasa.
Pada masa penjajahan colonial Belanda ini, walaupun dalam teorinya, setiap anak yang mempunyai kemampuan intelektual, motivasi dan sumber keungan yang cukup, meskipun ia anak desa, mempunyai hak untuk memasuki perguruan tinggi, namun kenyataannya, jumlah penduduk Indonesia yang mencapai perguruan tinggi sangat kecil.
Kesempatan belajar bagi anak Indonesia tidak sebaik anak-anak Belanda. Dapat dikatakan bahwa anak-anak Belanda memperoleh kesempatan yang seratus kali lebih baik untuk memasuki sekolah tingkat MULO, dan seribu kali banyaknya harapan untuk memasuki sekolah tingkat menengah atas apabila dibandingkan dengan anak-anak Indonesia.
Dan akhirnya, walaupun pada umumnya kesempatan belajar terus bertambah luas bagi anak-anak Indonesia, namun anak-anak Belanda selalu jauh lebih maju, sehingga jurang pemisah antara pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa Belanda semakin besar.
2.    Sistem Pendidikan bagi Anak Belanda
Sekolah pertama yang dibuka bagi anak Belanda dipusatkan dijakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota kota lain di Jawa. Jumlahnya meningkat dari 7 sekolah (1820), 19 sekolah (1835), 25 sekolah (1845), 57 sekolah (1857).
Untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah Belanda ini, prinsip yang dijadikan landasan adalah tercantum dalam statute 1818 yang menyatakan bahwa sekolah-sekolah harus dibuka di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda  yang diizinkan oleh keadaan atau secara khusus menekankan apabila jumlah murid mencapai 20 orang khusus di Jawa atau 15 orang di daerah luar Jawa.
Pada pendidikan Belanda, satu-satunya jalan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah rendah yang khas Belanda hanyalah di Europese Lagere School (E.L.S). Dalam sekolah ini hanya sejumlah kecil anak-anak Inlander (bumi putra) yang dapat diterima, yakni hanya dari kalangan orang kaya dan kalangan priyayi.
Di dalam pendidikan Belanda ini, kurikulum mengalami pergeseran radikal dari kurikulum yang dianut oleh pendidikan yang khusus anak-anak Inlander. Pada kurikulum ini dipengaruhi oleh anak libralisme, di mana orang menaruh kepercayaan dan keyakinan atas pengetahuan yang didasarkan atas penelitian ilmiah emperis.
Pendidikan pada sekolah Belanda ini, diarahkan untuk mengembangkan adanya kemampuan intelektual, penerapan nilai-nilai rasional, dan sosial, tidak didasarkan pada nilai-nilai keimanan seperti yang dianut sebelumnya (Kristen dan Islam).
C.       Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan RI merupakan tonggak sejarah yang sangat menentukan bagi bangsa yang mendiami kawasan nusantara ini. Proklamasi menandai kemandirian suatu bangsa, sekaligus meniscayakan eksistensi kedaulatan untuk bertanggung jawab dalam menentukan nasibnya sendiri. Sejak dikumandangkannya proklamasi, bangsa Indonesia melalui pemerintahnya menyatakan siap mengambil alih seluruh aspek kedaulatan, mulai dari soal politik, hukum, sosial, ekonomi dan termasuk juga pendidikan. Khusus dalam bidang pendidikan, pemerintah bersama rakyat telah berusaha melakukan perombakan dan pembangunan secara simultan hingga saat ini. Tanggung jawab pemerintah dalam soal pendidikan antara lain dapat dilihat dalam pembinaan perguruan agama Islam di Indonesia.
Dalam konteks ini, tampaknya keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Sebelum Indonesia merdeka, lembaga-lembaga tersebut sudah ada dan biasanya dikelola secara perorangan. Oleh karena itu, hubungan antar lembaga hampir tidak ditemukan sama sekali. Setiap lembaga mempunyai visi dan tanggung jawab sendiri-sendiri dalam menjalankan aktivitasnya. Kasus seperti pengelolaan pesantren di Pulau Jawa oleh Kiyai dan surau atau madrasah di Sumatra di bawah tanggung jawab seorang Buya.
Persoalannya adalah, bagaimana eksistensi perguruan-perguruan agama Islam yang telah ada itu setelah pemerintah turut campur tangan? Apakah pemerintah mengambil alih pengelolaan lembaga-lembaga dimaksud atau hanya memberikan semacam subsidi, atau malah membiarkannya tumbuh seperti biasa, lalu membangun perguruan-perguruan agama Islam lainnya.

BAB XV
KONFERENSI PENDIDIKAN ISLAM SE DUNIA RUMUSAN TENTANG PENDIDIKAN ISLAM   ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM AKIDAH, IBADAH DAN AKHLAK
yWr

Secara normatif, ajaran Islam disebut sebagai rahmat bagi seru sekalian alam, karena dibawa oleh seorang yang dinyatakan oleh Allah sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ini berarti bahwa ajaran-ajaran Islam bersifat aplikatif dan dapat diwujudkan secara nyata dalam keseharian. Informasi inipun menunjukkan bahwa ajaran Islam harus sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Setiap ajaran Islam mesti layak diterima oleh lapisan masyarakat dan tingkat kecerdasan. Bahkan ajaran ini senantiasa sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang dicapai oleh dinamika sosial masyarakat Islam itu sendiri.
Islam telah memberikan metode pendidikan yang sempurna kepada umat manusia dan sistem tersebut mulai dari sumber landasan, metode, sarana, sejarah, hingga berbagai persoalan yang kerap kali melanda umat manusia. Selain itu, kita pun harus mencoba memahami berbagai istilah yang mendasari metode Islami tersebut. Aspek-aspek yang akan muncul dalam kajian ini adalah: aspek-aspek pendidikan Islam dalam akidah, ibadah dan akhlak. Tentu saja aspek tersebut harus tetap berdasarkan pada konsepsi yang telah ditentukan oleh Alquran.
1.         Aspek Akidah
2.         Aspek Ibadah
3.         Aspek Akhlak