MUQADDIMAH

MUQADDIMAH
إنا أنزلنا القرآن عربيا لعلكم تعقلون

Wednesday, March 24, 2010

BAHASA ARAB

KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

MATA PELAJARAN BAHASA ARAB MADRASAH ALIYAH

Bahasa Arab merupakan mata pelajaran yang mengembangkan ketrampilan berkomunikasi lisan dan tulisan untuk memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan serta mengembangkan ilmu pengetahuan agama, pengetahuan umum, dan sosial-budaya Pelajaran bahasa Arab yang diajarkan di Madrasah berfungsi sebagai bahasa agama dan ilmu pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, pelajaran bahasa Arab di Madrasah tidak terpisahkan dari bidang-bidang studi (mata pelajaran) lain yang diajarkan pada Madrasah.

Tujuan pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah adalah agar siswa menguasai secara aktif dan pasif dengan target penguasaan 2500-3000 kosa kata dan idiomatik yang disusun dalam berbagai tarkib (susunan kata) dan pola kalimat yang diprogramkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi dan memahami teks-teks kontemporer, baik yang terkait dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks) maupun keagamaan.

Pembelajaran bahasa Arab di Madrasah memiliki tujuan agar para siswa berkembang dalam hal :

1. Ketrampilan menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qiro’ah), dan menulis (kitabah) secara benar dan baik.

2. Pengetahuan mengenai ragam bahasa dan konteksnya, sehingga para siswa dapat menafsirkan isi berbagai bentuk teks lisan maupun tulisan dan meresponnya dalam bentuk kegiatan yang beragam dan interaktif.

3. Pengetahuan mengenai pola-pola kalimat yang dapat digunakan untuk menyusun teks yang bermacam-macam dan mampu menerapkannya dalam bentuk wacana lisan dan tulisan;

4. Pengetahuan mengenai sejumlah teks yang beraneka ragam dan mampu menghubungkannya dengan aspek sosial dan personal;

5. Kemampuan berbicara secara efektif dalam berbagai konteks;

6. Kemampuan menafsirkan isi berbagai bentuk teks tulis dan merespon dalam bentuk kegiatan yang beragam, interaktif, dan menyenangkan;

7. Kemampuan membaca buku bacaan fiksi dan non fiksi serta menceritkan kembali intisarinya;

8. Kemampuan menulis kreatif berbagai bentuk teks untuk menyampaikan informasi, mengungkapkan pikiran dan perasaan;

9. Kemampuan menghayati dan menghargai karya orang lain;

10. Kemampuan untuk berdiskusi dan menganalisis teks secara kritis.

Adapun ruang Lingkup pembelajaran bahasa Arab di Madrasah meliputi; (i) unsur-unsur kebahasaan, terdiri atas tata bahasa (qowaidu al lugoh), kosa kata (mufrodat), pelafalan, dan ejaan (ashwat arabiyah), (ii) ketrampilan berbahasa, yaitu menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qiro’ah), dan menulis (kitabah), dan (iii) aspek budaya yang terkandung dalam teks lisan dan tulisan.

Tarbawi


1. Menyajikan mufradat ( kosa kata atau istilah-istilah penting ) dari ayat tersebut. Tidak semua lafadz dalam ayat tersebut dicantumkan namun ada beberapa mufradat yang penting dan diutamakan untuk dikaji dan dianalisis

1. Lafad/kosa kata atau istilah yang yang berkaitan dengan judul

2. Lafadz/ kosa kata atau istilah yang rumit pengertiannya

3. Lafad/kosa kata atau istilah yang multi tafsir

2. Menyajikan Asbab Nuzul ayat ( jika ada ), hal ini untuk :

1. Mengetahui latar belakang mengapa ayat itu diturunkan

2. Mengetahui bagaimana situasi ( kontekstualitas/kondisionalitas ) yang melingkupi saat diturunkan

3. Bisa digunakan sebagai dasar pijakan untuk memperoleh penafsiran yang falid dan tepat.

4. Ayat yang memiliki lebih dari satu asbab nuzul justru akan semakin memperkaya penafsiran.

3. Menyajikan Munasabah Ayat

1. Munasabah Kata

2. Munasabah Ayat Sebelum dan Sesudahnya

3. Munasabah Redaksional Ayat ( Tekstual )

4. Munasabah Maknawi ( Kontekstual )

4. Melakukan penafsiran ayat, dengan menambah dukungan keterangan dan dalil naqly ( ayat-ayat atau hadits nabi yang berkaitan) seta dalil aqli yang telah ada dalam buku-buku tafsir tetang ayat yang dikaji serta buku-buku ilmiyah lainnya yang terkait.

5. Pendapat/komentar pribadi . Dalam melakukan penafsiran digunakan metode komparasi antara berbagai penapat yang ada, serta diikuti dengan komentar dan pendapat dari penulis, baik dengan cara :

  1. Melengkapi dan menyempurnakan pendapat-pendapat yang sudah ada.
  2. mendukung salah satu pendapat
  3. mengkompromikan pendapat-pendapat yang bertentangan
  4. ataupun menelurkan pendapat baru.

6. Menyimpulkan ( sari tafsir dalam nuansa tafsir tarbawiy / pendidikan )

Pada tahapan ini penulis memberikan kesimpulan dari tafsir ayat, yang berisis pokok-pokok pikiranyang ada di dalamnya, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan para pembaca dalam memhami permasalahan-permasalahan yang ada dalam ayat dan tafsirnya.

Tafsir Tarbawi

Kata “तर्बियाह / pendidikan” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna: Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan (A.W. Munawwir, 1997: 470).

Dalam Alquran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:

...... وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً (24)

Terjemahnya:

Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah Membimbing aku waktu kecil (Q.S.17: 24).

Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيداً وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ (18)

Terjemahnya:

Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S.26: 18).

Abdul Rahman Saleh Abdullah mengemukakan bahwa kata Tarbiyah yang berasal dari kata Rabb(mendidik dan memelihara) banyak terdapat dalam Alquran; demikian pula kata Ilm yang demikian banyak dalam Alquran menunjukkan bahwa dalam Alquran tidak mengabaikan konsep-konsep yang menunjukkan kepada pendidikan (Departemen P & K, 1990:291).

Istilah “pendidikan” dalam konteks Islam, lebih banyak dikenal dengan menggunakan term “al-tarbiyah, al-ta’lim dan al-ta’dib”. Setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu, term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.

Formulasi hakikat pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman autentik dalam pengggalian khazanah keilmuan dalam berbagai aspeknya. Dengan mengacu pada kedua sumber tersebut, diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakikat pendidikan Islam.

Dalam memberikan uraian tentang hakikat pendidikan Islam, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa tinjauan terhadap pendidikan Islam :

A. TARBIYAH ( تربية )

1. Tinjauan Etimologi

Secara leksikal, istilah al-tarbiyah tidak ditemukan dalam al-Qur'an. Akan tetapi ditemukan bahwa al-Qur'an mempergunakan kata-kata yang akar katanya mempunyai sumber derivasi (isytiqaq) yang sama dengan al-tarbiyah. Kata-kata yang dimaksud ialah al-rabb, rabbayani, nurabbi, ribbiy­n, rabbani. Demikian pula, dalam hadi£ ditemukan penggunaan istilah rabbani. Meskipun kelihatannya semua istilah tersebut mempunyai pola akar kata yang sama, namun masing-masing mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.

Apabila istilah al-tarbiyah dilacak maknanya dari kata al-rabb, maka ditemukan berbagai konotasi makna yang diketengahkan oleh para pakar bahasa sebagai berikut :

a. Louis Ma’luf, mengartikan al-Rabb dengan tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah, mengumpulkan, dan memperindah.1

b. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad al-An،bari al-Qurthubi memberikan arti al-rabb dengan pemilik, tuan, Yang Maha Memperbaiki, Yang Maha Pengatur, Yang Maha Menambah, dan Yang Maha Menunaikan.2

Pengertian di atas merupakan interpretasi dari kata al-rabb dalam surah al-fatihah, yang merupakan nama dari nama-nama Allah Swt.

c. Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa al-rabb merupakan kata yang seakar dengan al-tarbiyah yang mempunyai makna al-tanmiyah (pertumbuhan dan perkembangan).3

d. Al-Jauharari memberikan makna al-tarbiyah, rabban dan rabba, adalah : Memberi makan, memelihara, dan mengasuh.4 í

Apabila istilah al-Tarbiyah diidentikkan dengan bentuk fi’il madhi, maka hal ini dapat kita temukan dalam Surah al-Isra’ (17): 24 .

...... وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً (24)

Terjemahnya:

Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah Membimbing aku waktu kecil (Q.S.17: 24).

Dan dalam bentuk mudlari-nya ( nurabbi) dalam kita dapat menemukkannya dalam Surah asy-Syu’ara (26): 18.

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيداً وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ (18)

Terjemahnya:

Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S.26: 18).

Dari kedua ayat di Atas maka istilah al-tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, mempertumbuhkan, memproduksi, dan menjinakkan.5 Hanya saja dalam konteks kalimat dalam surah al-Isra di atas bermakna lebih luas, yakni mencakup aspek jasmani dan rohani, sedangkan dalam surah asy-Syu’ara hanya mencakup aspek jasmani saja.

Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa term rabbayani tidak hanya merupakan pengajaran yang bersifat verbal (domain kognitif), tetapi juga meliputi pengajaran tingkah laku (domain afektif).6 Sebaliknya Sayyid Quthub menafsirkan kata rabbayani sebagai pemeliharaan anak serta menumbuhkan kematangan sikap mentalnya.7

Selanjutnya dari akar kata Rabba – Yurabbi, menghadirkan kata derivasi lain, yakni kata ربّانيـين dan ربّيون. Kedua kata ini terdapat dalam surah Ali-’Imran ayat 79 dan 146,

كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ (79)

Artinya : "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (146)

Artinya : Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

Makna kata rabbayaniyyin dan rabbani dapat kita temukan pada Hadits Nabi yang mempergunakan kedua kata itu.

... كُوْنـُـوْا رَبَّانِيِّـْينَ حُلَمَاءَ فُقَهَاءَ عُلَمَاءَ وَيُقَالُ اَلرَّبَّانِيُّ الَّذِى يُــرَبِــّى النَّاسَ بِصِغَارِ اْلعِلْمِ قَبْلَ كِبَارِهِ . (رواه البخارى عن ابن عباس) 8

Artinya :

‘...Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqh, dan berilmu pengetahuan. Dan dikatakan sebagai “rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, mulai dari sekecil-kecilnya sebelum mengajarkan ilmu yang tinggi. (H.R. Bukhari dari Ibnu Abbas).9

Bila diperhatikan hadis di atas, ditemukan bahwa arti al-Tarbiyah (sebagai padanan dari rabbani) adalah proses transformasi ilmu pengetahuan dari tingkat dasar menuju tingkat selanjutnya. Proses Rabbani bermula dari proses pengenalan, hafalan, dan ingatan yang belum menjangkau proses pemahaman dan penalaran.

Sebaliknya, apabila diperhatikan pengertian al-tarbiyah dengan mengacu kepada pengertian yang terdapat dalam surah Ali-’Imran di atas yang merupakan padanan arti dari rabbaniyiin dan ribbiyun,10 maka al-tarbiyah dipahami sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan dan sikap kepada anak didik dengan proses tersebut, anak didik mempunyai semangat tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga dengan demikian, terwujud ketakwaan, budi pekerti, dan pribadi yang luhur.

2. Tinjauan terminologi.

Para ahli memiliki cara yang beragam dalam memberikan makna al-tarbiyah. Hal itu dapat dilihat sebagai berikut;

a. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi berpendapat bahwa al-tarbiyah ialah :

تَبْلِيْغُ الشَّيْئِ إِلَى كَمَالِهِ شَيْئاً فَشَيْئاً

(Proses penyampaian sesuatu sampai pada batas kesempurnaan yang dilakukan secara tahap demi tahap).11

ِ

Adapun al-Ashfahani menyatakan bahwa pengertian tarbiyah adalah :

إِنْشَاءُ الشَّيْئِ حَالاً فَحَالاً إِلَى حَدِّ التَّّمَامِ

(Proses menumbuhkan secara bertahap yang dilakukan secara bertahap sampai pada batas kesempurnaan).12

b. Abdul Fattah Jalal mendefinisikannya istilah al-Tarbiyah adalah : Proses persiapan dan pemeliharaan anak pada masa kanak-kanak di dalam keluarga.13

Pengertian-pengertian tersebut di atas, digali dari maksud QS. al-Isra’(17): 24 dan QS. asy-Syu’ara’(26):18. Objek kedua ayat tersebut diperuntukkan bagi bayi dan fase kanak-kanak.

c. Ismail Haqi al-Barusawi berpendapat bahwa al-Tarbiyah bermakna : Proses pemberian nafsu dengan berbagai kenikmatan, pemeliharaan hati nurani dengan berbagai kasih sayang, bimbingan jiwa dengan hukum-hukum syari’ah, serta pengarahan hati nurani dengan berbagai etika kehidupan dan penerangan rahasia hati dengan hakikat pelita.14

Pengertian tersebut khusus diperuntukkan bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian ai-Tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya, mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan, serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.

d. Mustafa al-Ghulayaini berpendapat bahwa al-Tarbiyah adalah : Penanaman etika yang mulia pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasihat, sehingga ia memiliki potensi-potensi dan kompetensi-kompetensi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak, baik, cinta akan kreasi, dan berguna bagi tanah airnya.15

e. Ahmad Musthafa Al-Maragi memberikan definisi al-Tarbiyah dengan membaginya kepada dua kategori :

  1. Tarbiyah Khalqiyah, yaitu pembinaan dan pengembangan jasad, jiwa dan akal dengan berbagai petunjuk.
  2. Tarbiyah Diniyah Tahqibiyah, yaitu pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa.16

Dari kedua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Tarbiyah adalah proses pembinaan dan pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai petunjuk, sehingga menyebabkan potensi yang dimiliki manusia dapat tumbuh dengan produktif dan kreatif tanpa menghilangkan etika Ilahi yang telah ditetapkan dalam wahyuNya.

f. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi berpendapat bahwa al-Tarbiyah adalah : Upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir, tajam berperasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan bahasa lisan, serta terampil berkreativitas.17

B. TA’LIM ( تعليم )

Apabila kata “Pendidikan” diidentikkan dengan term al-ta’lim, para ahli mempunyai beberapa pengertian, yaitu :

1) Muhammad Rasyid Ridha mendefinisikan bahwa al-Ta’lim adalah : Proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.18 Definisi tersebut didasarkan pada Allah Swt.. QS. al-Baqarah (2): 31 tentang Allama (pengajaran) Tuhan kepada Nabi Adam a.s. Sedangkan proses transmisi itu dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan oleh Allah kepadanya.19

2). Abdul Fattah Jalal memberikan pengertian al-ta’lim dengan : Proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung-jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi tazkiah (penyucian) atau pembersihan diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. 20

Perbedaannya adalah : Bahwa ruang lingkup term al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan lingkup term al-tarbiyah. Hal tersebut karena al-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa, sedangkan al-tarbiyah, khusus diperuntukkan pada pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.

3). Syed Muhammad an-Naquib Al-Attas memberikan makna al-ta’lim dengan : Pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Namun apabila al-ta’lim disinonimkan dengan kata al-tarbiyah, maka kata al-ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.21

Dalam pandangan an-Naquib, ada konotasi tertentu yang dapat membedakan antara terma al-tarbiyah dengan al-ta’lim. Ruang lingkup al-ta’lim menurutnya lebih bersifat universal daripada ruang lingkup al-tarbiyah. Hal ini karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada konotasi eksistensial. Lagi pula, makna at-tarbiyah lebih spesifik, karena ditujukan pada objek-objek pemilikan yang berkaitan dengan jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya hanya milik Allah.

4) Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian al-ta’lim yang berbeda dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas. Beliau menyatakan bahwa at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan al-tarbiyah mencakup keseluruhan aspek-aspek pendidikan.22

At-ta’lim merupakan bagian kecil dari at-tarbiyah al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan keahlian berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain kognitif.23 Sebaliknya, al-tarbiyah tidak hanya mengacu pada domain kognitif, tetapi juga domain efektif dan psikomotorik.

C. TA’DIB ( تأديب )

Adapun pengertian at-ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadannya.25 Pengertian tersebut didasarkan pada hadis Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut :

... أدّبنى ربّى فأحسن تأديبى ... 26

Artinya :

‘Tuhanku telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya.’

Dari beberapa pengertian al-tarbiyah, al-ta’lim, dan al’ta’dib di atas, para ahli pendidikan mencoba memformulasikan hakikat makna pendidikan sebagaimana dalam uraian berikut ini.

Dr. Muhammad SA Ibrahimy mengemukakan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :

Islamic education in true sense of the term, is a system of education which enables a man to lead his life according to the islamic ideology, so that he may easily mould his life in accordance with tenets of Islam.’28 (Pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupan sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam).

Pengertian itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islam yang diamanatkan oleh Allah kepada manusia, sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan iptek.

Prof. Dr. Omar Mohammad Al-Toumi Al-Syaibani memberikan definisi pendidikan Islam dengan proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi di antara professi-professi asasi dalam masyarakat.29

Pendidikan tersebut menfokuskan pada perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Di samping itu, pendidikan tersebut menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.

Dr. Muhammad Fa«il al-Jamaly memberikan arti pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan30.

Dr. Muhammad Jawad As-Sahlani seperti dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat mengartikan pendidikan Islam sebagai proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan dan mengembangkan kemampuannya.31

Dari definisi tersebut di atas, dapat dirumuskan tiga prinsip pendidikan Islam yaitu:

  1. Pendidikan merupakan proses yang membantu manusia dalam pencapaian tingkat kesempurnaan berupa keimanan dan ilmu (QS. al-Mujadilah (58):11) yang disertai dengan amal Shaleh (QS. al-Mulk (67) :2).
  2. Pendidikan sebagai model, maka Rasulullah Saw., sebagai uswatun hasanah (QS. al-Ahzab (33):21) yang dijamin Allah memiliki akhlak mulia (QS. al-Qalam (68): 4).
  3. Pada diri manusia terdapat potensi baik dan buruk (QS. asy-Syams (91):7-8), potensi negatif, seperti lemah (QS. an-Nisa (4):28), tergesa-gesa (QS. al-Anbiya (21):37), berkeluh kesah (QS. al-Ma’arij (70):19), dan roh Tuhan ditiupkan kepadanya pada saat penyempurnaan penciptaannya (QS. ،Ad (38):72), manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. at-Tin (95):4). Oleh karena itu, pendidikan ditujukan sebagai pembangkit potensi-potensi baik yang ada pada anak didik dan mengurangi potensi-potensi yang jelek.32

Selanjutnya Dr.Yusuf al-Qardhawi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai berikut :

Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya ( akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya). Pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.

Pengertian ini memperlihatkan bahwa pendidikan Islam berupaya menyiapkan manusia dari generasi ke generasi untuk hidup dan mampu menghadapi masyarakat dengan berbagai kondisi yang dialaminya. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan itu berasal dari sumber-sumber nilai Islam, yakni al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Nilai-nilai tersebut diupayakan oleh pendidikan Islam untuk dipindahkan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Sehingga dengan demikian, terjadi kesinambungan ajaran-ajaran Islam di tengah masyarakat.

Dari beberapa pengertian pendidikan Islam yang dipaparkan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ajaran Islam pada diri manusia melalui pertumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.

Dari pengertian tersebut, dapat dipahami lima prinsip pokok dalam proses pendidikan Islam, yaitu :

(1) Proses transformasi, yaitu upaya pendidikan Islam harus dilakukan secara bertahap, berjenjang dan kontinyu dengan upaya pemindahan, penanaman, pengarahan, pengajaran, pembimbingan sesuatu yang dilakukan secara terencana, sistematis, terstruktur dengan menggunakan pola dan sistem tertentu.

(2) Ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, yaitu upaya yang diarahkan pada pemberian dan penghayatan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.

Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang bercirikan Islami, yakni ilmu pengetahuan yang memenuhi kriteria epistimologi Islami yang tujuan akhirnya hanya untuk mengenal dan menyadari diri pribadi dan relasinya terhadap Allah, sesama manusia, dan kepada alam semesta.

Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai Ilahi dan nilai-nilai insani. Nilai Ilahi dapat diperoleh melalui dua jalur, yaitu:

(a) Nilai yang bersumber dari sifat-sifat Allah yang tertuang dalam “Asmaul Husna” (99 nama-nama yang indah). Nama-nama itu pada hakikatnya telah menyatu pada potensi dasar manusia yang selanjutnya disebut fitrah.

(b) Nilai yang bersumber dari hukum-hukum Allah, baik berupa hukum yang linguistik-verbal (qur’ani) maupun non verbal (kaun³ ).

Sebaliknya, nilai-nilai insani merupakan nilai yang terpancar dari daya cipta, rasa, dan karsa manusia, yang tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peradaban manusia dan yang memiliki sifat dinamis temporer.

(3) Pada diri manusia terdapat potensi-potensi rohani. Dengan potensi-potensi tersebut, manusia mendapat kemungkinan untuk dididik, yang pada gilirannya mereka dapat menjadi pendidik. Konsep ini berpijak pada konsepsi manusia sebagai makhluk psikis (al-insan).

(4) Melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya. Tugas pokok pendidikan Islam, hanya untuk menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi laten manusia, agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakatnya. Dengan demikian tercipta dan terbentuklah daya kreativitas dan produktivitas manusia.

(5) Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya. Hal tersebut merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan Islam yang identik dengan tujuan hidup manusia sebagai abdi Allah Swt. Akibatnya, proses pendidikan Islam yang dilakukan , dapat menjadikan manusia hidup penuh bahagia, sejahtera, dan penuh kesempurnaan.

Dengan memahami prinsip-prinsip pokok pendidikan Islam seperti yang telah dikemukakan di atas, maka pemahaman tersebut dapat memberikan kejelasan tentang hakikat pendidikan Islam yang sebenarnnya.



1Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam (Cet. XXVII; Beirut: Dâr al- Masyriq, 1984), h . 243-244.

2Abí Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-An،ârí al-Qurthubí, al-Jâmi’ li-Ahkâmi al-Qur'ân, Jilid I (t.d), h,, 136-137.

3Imâm Fakhruddín al-Râzi, Tafsír al-Kabír, Jilid X. Juz XX (Cet. I. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1990), h. 153.

4Syed Muhammad al-Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Philosophy of Education. Diterjemahkan oleh Haidar Baqir dengan judul “ Konsep Pendidikan Dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam” (Cet. I ; Bandung: Mizan, 1984), h. 66.

5Ibid.

6Lihat Imam Fakhruddín al-Râzi. loc.cit.

7Sayyid Qu¯ub, Tafsír Fí ¨ilâl al- Qur'ân. Jilid IV. Juz. XV (Cet. XVII; alQâhirah: Dâr al-Syur­q, 1992), h. 2221.

8Imâm Bukhârí, ¢ahíh al-Bukhârí, Juz I (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1992), h. 30-31.

9Terjemahan penulis.

10Makna “rabâniyín dan ribbiyy­n” diartikan dengan orang -orang yang mempunyai semangat tinggi dalam berketuhanan, yang mempunyai sikap-sikap pribadi, yang secara sungguh-sungguh berusaha memahami Tuhan dan menaati-Nya. Hal tersebut mencakup kesadaran akhlak menusia dalam kiprah hidupnya di dunia ini. Oleh karena itu, ada korelasi antara takwa, akhlak dan pribadi luhur. Dengan kata lain, “orang yang telah sempurna ilmu serta takwanya kepada Allah Swt.,”. Lihat, Nurkholis Majid Islam Doktrin dan Peradaban: sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan (Cet. II; Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 1992), h. 45.

11Muhammad Jamâluddin al-Qâsimí, Tafsír Mahâsin al-Ta’wíl (Cet. II; Beirut: Dâr al- Fikr, 1978), h, 8.

12Abdurrahmân al-Nahlâwí, Ushul al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Asâlibihâ fí al-Baiti wa Madrasati wal Mujtama’, (Cet. I; Beirut; Dâr al-Fikr, 1979), h. 13.

13Abdul Fattâh Jalâl, Min al-Ushul al-Tarbawiyah fí al-Islâm, diterjemahkan oleh Herry Noer Ali dengan judul “Asas-Asas Pendidikan Islam” ( Cet.I; Bandung: CV.Dipenogoro, 1988) h.28.

14Ismail Haqi Al-Barusâwi, Tafsír Ruhul al-Bayân, Jilid I, Juz I (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th),h.2.

15 Mustafa Al-Ghulâyaini, I§hatun Nâsyi,ín (Cet.VI; Beirut Maktabah ‘A،riyah,1949 ), h.185.

16Ahmad Mu،¯afa Al-Marâghi, Tafsír al-Marâghi, Jilid I ( Cet.IV; Mesir: Mu،¯afa al-Bâb al-Halaby,1969),h.30.

17Muhammad ‘A¯iyah Al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lím, (Saudi ‘Arabiah : Dâr al- Ahyâ’, t.th,), h. 7.

18Muhammad Rasyid Ridhâ, tafsír al-Manâr , Jilid I (Cet. II; Misr: Dâr al Fikr, t.th ), h. 262.

19Lihat Abdul Fattâh Jalâl, op.cit., h. 26.

20Ibid., h. 27..

21Lihat Syed Muhammad An-Naquib Al-Attas, op.cit., h. 75.

22Lihat Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi, loc.cit., h.

23Formulasi tersebut karena term “allama” dalam QS. al-Baqarah ( 2):31 dikaitkan dengan term “‘ara«a” yang membawa konotasi bahwa proses pengajaran Adam tersebut pada akhirnya diakhiri dengan tahapan evaluasi. Konotasi konteks kalimat itu mengacu pada evaluasi domain kognitif, yakni penyebutan asma-asma benda yang diajarkan , belum pada tingkat domain yang lain. Hal ini menandakan bahwa al-ta’lím sebagai bentuk mashdar dari “‘allama,” hanya bersifat khusus dibandingkan dengan al-tarbiyah.. Lihat Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran pendidikan Islam : Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya (Cet. I; Bandung: PT. Trigenda Karya, 1993), h. 133.

25Ibid., h. 69.

26Lihat al-Suythí, al-Jâmi’ al- Shaghír fí Ahâdís al-Basyír al-Nazír (Cet. I; al-Qâhirah: Dâr al-Fikr, t.th), h. 14.

28 HM. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan dan Umum, Edisi kedua (Cet. III; Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 3-4.

29Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibâní, Falsafah al-Tarbiyyah al-Islâmiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam (Cet. I ; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 333.

30 Muhammad Fa«il al-Jamâlí, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an (Cet. I ; Surabaya; Bina Ilmu, 1986), h. 3.

31Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif ( Cet. IX ; Bandung : Mizan, 1998), h. 115.

32 Ibid., h. 115-117.